Telusur

Photo by Andrea Piacquadio on Pexels.com

Namaku Wasna. Aku anak Rahmadi dan Darmi. Keduanya ada dalam kubur sampai kami diberitahukan bahwa ayah masih hidup. Rasanya seperti ditikam dari belakang ketika Paman Hando mengungkapkan kebenaran yang selama ini tersembunyi.

Sudah hari ke sembilan aku di Cilacap. Semua yang kudapat belum memuaskan. Setiap jejak yang kuikuti seolah-olah hanya membawaku ke jalan buntu.

Kemarin aku bertemu Rusdi, pensiunan sipir yang bercerita, “Ayahmu mungkin sekarang di Surabaya. Sejak lama dia bilang akan kembali ke sana.”

Aku menatap Rusdi dengan harapan yang tertahan, “Apa dia pernah mengatakan kenapa ingin kembali ke Surabaya?”

Rusdi menghela napas panjang. Seolah-olah mengingat kembali ingatan-ingatan yang jauh. “Dia bilang ada urusan yang belum selesai di sana. Tidak banyak yang kutahu, Rahmadi memang jarang terbuka. Meski Ayahmu lama tinggal di penjara, dia tidak banyak punya kawan.”


Beberapa hari ini aku di Surabaya, pencarian ini makin terasa seperti mengeduk jerami. Jarumnya entah benar ada atau tidak. Kotanya begitu besar dan mungkin sudah tidak sama dengan yang dahulu pernah dilihat Rusdi. Sehingga tidak juga aku temui orang yang pernah bertemu dengan Ayah. Rusdi sempat memberi foto mereka di Cilacap, dan nama sebuah klub di daerah Tanjung Perak.

Perlu tiga hari berada di sekitar klub itu hingga aku bertemu dengan Yayat. Dia pernah bekerja dengan Ayah. Saat aku menyebutkan nama Rahmadi, mata Yayat sedikit menyipit seolah mengingat sesuatu. “Rahmadi? Aku pernah bekerja dengannya beberapa tahun lalu di sebuah klub di Tanjung Perak, namun, sudah lama sekali. Aku tidak tahu dia masih di sana atau tidak.”

Aku memutuskan untuk mengikuti Yayat ke klub tersebut, berharap menemukan jejak ayahku. Setibanya di sana, Yayat membawaku ke beberapa orang yang mungkin mengenal Rahmadi, namun sebagian besar dari mereka sudah pindah atau tidak lagi bekerja di sana. Setiap kali kami bertanya, aku bisa merasakan beban makin berat di pundakku. Kesulitan menemukan ayahku makin nyata, tetapi aku tidak bisa berhenti sekarang. Aku harus terus mencari meskipun itu berarti menyusuri setiap sudut gelap kota ini. Demi menemukan kebenaran yang selama ini tersembunyi.

Saat kami meninggalkan klub dan berjalan menuju jalan utama, beberapa pria bertubuh besar tiba-tiba menghadang langkahku. Yayat mundur beberapa langkah, tampak cemas.

“Kamu siapa? Ngapain cari-cari Rahmadi?” tanya salah satu pria dengan nada mengintimidasi. Wajahnya penuh dengan tatapan curiga.

Aku berusaha tetap tenang meskipun jantungku berdegup kencang. “Aku Wasna, anaknya. Aku hanya ingin tahu ayahku ada di mana sekarang.”

Pria itu tersenyum, “Anaknya, ya? Sudah lama kami juga nyari-nyari dia. Sudah tahu dia ada di mana?”

Aku menggeleng pelan, berusaha menunjukkan keberanian meskipun tubuhku gemetar. “Sejak seminggu ini sudah aku mencari, tetapi tidak ada tanda-tanda di mana dia,” sahutku.

“Jangankan kamu yang baru seminggu ini, kami yang sudah dua tahun saja menunggu dia di sini belum ketemu!” Salah satu dari pria itu ikut berkomentar dengan kesal. Mereka tampak seperti tukang pukul penagih utang. Debt collector? Apakah ayahku berhutang kepada mereka?

Pria lainnya, yang sejak tadi diam, ikut bicara. “Kamu sebaiknya pulang saja. Rahmadi mungkin sudah tidak di Jawa Timur ini lagi. Kalau ada, kami pasti sudah dengar ia ada di mana.”

Aku menatap pria itu. “Aku … Kami tidak bisa. Ini urusan keluarga. Aku harus menemukan dia.”

Pria-pria itu selintas saling pandang, seolah-olah mempertimbangkan sesuatu. Akhirnya, yang pertama berbicara menghela napas dan berkata, “Baiklah, jangan bilang kita nggak pernah ngasih peringatan. Ayahmu banyak dicari orang. Tidak semuanya orang baik-baik.”

Aku menunduk. “Ya, kami sekeluarga maklum. Bapak-bapak, kapan terakhir melihat Ayah?”

Tiga orang itu pun akhirnya menceritakan mereka mendengar ayahku baru saja keluar dari penjara tiga tahun lalu. Mereka sama seperti aku langsung menuju Cilacap, tetapi dengan hasil yang sama nihilnya. Mereka tahu Rahmadi juga sering ke klub di Tanjung Perak ini. Karenanya mengakhiri pencarian mereka di sini. Menunggu siapa tahu Rahmadi muncul lagi di sini.

“Ada urusan apakah bapak-bapak mencari Ayah?” Akhirnya aku memberanikan diri.

“Itu kau tidak usah tahu! Kalau masih hidup, Rahmadi akan kami temukan. Dia tidak mungkin sembunyi selamanya.” Salah satu dari mereka mengakhiri rasa ingin tahuku. Kemudian, mereka berlalu.

Yayat yang sedari tadi diam saja, menggamit lenganku untuk mengikutinya keluar. “Sepertinya memang benar apa kata para tukang pukul itu, ayahmu mungkin sudah tidak di Jawa Timur.” bisiknya.

“Aku jadi ingat, dia pernah cerita punya keluarga di Kalimantan, kau tahu?” tanya Yayat. Samar-samar dalam ingatanku muncul seorang sepupu jauh Ibu. Aku sengaja tidak menjawab pertanyaan Yayat. Aku akan cari tahu sendiri. Kalau ke Kalimantan aku harus ajak Kuni. Dia lebih tahu harus ke mana mencari.

[Notokuworo.]

Leave a comment