Kalau sudah begini, aku jadi ingin mendekapmu lebih erat, menikmati dinginnya angin di lereng ini. Dan bercerita kepadamu tentang hidup yang aku tahu. Dan menikmati saat-saat dimana kita bisa begitu dekat. Membuka tirai-tirai masa-masa yang sudah lewat. Darinya kita bisa berkaca. Membentangkan cermin yang memantulkan siapa kita. Mengaca pada kehebatan-kehebatan masa lampau. Biasanya kita akan bersandar di dipan dekat pintu ke balkon yang banyak angin itu. Membiarkan pintunya terbuka sedikit, dan hembusan angin itupun membawa kita kepada kesejukan yang acap menggigit.
Kalau sudah begini, aku juga ingin menceritakan hari-hari yang sedang kulalui. Apa saja yang sudah kucapai dalam hidup dan kenapa aku menjalaninya. Lantas aku harus menjawab pertanyaan-pertanyaanmu tentang kenapa kita harus terpisah ribuan kilometer dan bertemu sesekali seperti ini. Dan kita harus mengulang lagi dari awal kenapa dulu kita begini. Aku akan segera berpikir keras untuk membuatmu tertawa. Agar kita segera melupakan kenapa jarak selalu bisa membuatmu menangis. Mungkin juga bukan karena jaraknya. Entahlah ..
Kalau sudah begini, aku akan memelukmu lebih erat, mendengarkan kau bercerita tentang pengalamanmu di tempat kerja, caramu yang mencereweti rekan kerjamu dan menenangkanmu dari amarahmu pada orang-orang yang biasa mengesalkan harimu. Menyandarkan kepalamu di dadaku, dan membelai rambut yang terurai menyelimuti kita. Dan seringkali sedikit angin yang berhembus akan menyibak rambutmu dan akupun menatanya kembali. Sambil menatap ke dalam beningnya matamu, aku akan ganti bercerita tentang bagaimana aku harus bersama-sama suku yang masih tertinggal. Dan bertemu dengan orang-orang yang sama sekali baru, bahkan bahasa yang digunakannya. Matamu acap membelalak dan segera banyak pertanyaanpun meluncur dari bibirmu yang menggairahkan itu.
Kalau sudah begini, aku sering menghabiskan ceritaku di bibirmu. Dan melupakan sejenak dimana kita berada. Berdekatan denganmu memang selalu membawa getar itu. Dan bersamamu aku pasti ingin menumpahkan rinduku, seperti biasanya cara yang kita kenal. Hanya saja karenanya, kita tidak bisa menuntaskan cerita-cerita. Dan bila sudah saja kitapun akan terlena. Kita akan terbuai angin yang membelai lembut kulitmu dan segera akan mengusikku untuk menutupkan selimut dari ujung kakimu. Dan kitapun menuntaskan malam itu. Tapi aku tidak akan segera tertidur.
Kalau sudah begini, aku justru akan menghabiskan malam dengan memandangi wajahmu. Terkadang mendaratkan bibirku ke dahimu. Mengawalmu sekuatku, memandangi dengkur halusmu, dan kadang aku tak tahan untuk tidak menitikkan airmata mensyukuri betapa beruntungnya aku memilikimu. Selamat malam, sayang. Selamat tidur.
[Murnajati, Lawang]