Category: Prose

Surat Dumirah (3)

Photo by cottonbro studio on Pexels.com

Dumirah menatap pemuda yang berdiri di depannya dengan tatapan tak percaya. Darahnya berdesir, seolah melihat sosok yang telah lama hilang dari ingatannya. Arya berdiri di ambang pintu, membelakangi sinar matahari yang menyilaukan. Sekilas, bayangan Arya menyerupai postur seseorang yang pernah mengisi hati Dumirah bertahun-tahun silam.

Arya melangkah masuk, senyum hangat menghiasi wajahnya. Dumirah menyambut pemuda itu dengan pelukan erat, air mata menggenang di pelupuk matanya. Mereka duduk bersama, saling bertukar cerita tentang perjalanan hidup masing-masing.

“Aku tidak menyangka akhirnya bisa menemukanmu, Mbah Dum,” ucap Arya lembut. Dia menceritakan bagaimana petunjuk demi petunjuk menuntunnya ke tempat ini, bagaimana kisah masa lalu kakeknya dan Dumirah perlahan terungkap.

Dumirah mengangguk, senyum getir tersungging di bibirnya. Dengan suara bergetar, dia mulai mengisahkan alasannya pergi dari rumah keluarga Jatmiko bertahun-tahun lalu. “Aku tidak punya pilihan, Arya. Situasinya terlalu berbahaya untukku… untuk kami semua.”

Dumirah mengungkapkan betapa dia merasa bersalah karena meninggalkan Jatmiko tanpa penjelasan. Namun, ancaman dari pihak-pihak yang terlibat dalam pembunuhan aktivis itu membuatnya ketakutan. Dia terpaksa menghilang, memulai hidup baru jauh dari hiruk-pikuk kota.

“Aku sudah menikah dua kali setelah itu,” Dumirah melanjutkan, suaranya semakin pelan. “Punya anak, cucu juga. Tapi tidak pernah sehari pun aku melupakan kakekmu, Arya. Rasa bersalah ini selalu menghantuiku.”

Arya mendengarkan dengan seksama, tangannya menggenggam jemari keriput Dumirah. Dia bisa merasakan kepedihan yang selama ini dipendam wanita tua itu.

“Berkali-kali aku ingin menyelesaikan masalah ini, mengungkapkan semuanya pada Raras,” Dumirah terisak. “Tapi aku takut… takut melihat kemarahan dan kekecewaannya. Aku tidak sanggup membayangkan betapa terlukanya dia jika mengetahui kebenaran ini.”

Arya merangkul pundak Dumirah, berusaha menenangkan tangisnya. Dia mengerti beban yang ditanggung Dumirah selama bertahun-tahun, rahasia kelam yang menggerogoti jiwanya.

“Tidak apa-apa, Mbah Dum. Sekarang aku ada di sini,” bisik Arya lembut. “Kita akan mencari cara untuk menyelesaikan semua ini. Perlahan-lahan, tanpa menyakiti siapa pun.”

Dumirah mengangguk lemah, bersandar pada pelukan Arya. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, dia merasa sedikit kelegaan. Kehadiran Arya bagaikan secercah harapan, janji bahwa mungkin, suatu hari nanti, dia bisa terbebas dari belenggu masa lalu yang menyiksa.

Mereka duduk dalam diam, membiarkan keheningan menyelimuti ruangan. Sinar matahari sore menerobos jendela, membiaskan kehangatan yang menenangkan. Arya dan Dumirah, dua jiwa yang terhubung oleh benang takdir, kini bersatu dalam ikatan yang lebih kuat dari sekadar rahasia kelam. Mereka adalah keluarga, dan bersama-sama, mereka akan menghadapi apa pun yang ada di depan.

Arya menatap Dumirah dengan penuh tanda tanya. Mata tuanya yang sayu menyimpan banyak rahasia dan kepedihan. Di tengah kesunyian kuburan itu, Dumirah pun mulai membuka kotak pandoranya.

“Dulu, aku adalah simpanan seorang pengusaha kaya di Jakarta,” ujar Dumirah lirih. Suaranya bergetar menahan perih. “Aku menyaksikan sendiri bagaimana dia membunuh seorang aktivis yang menentang bisnisnya.”

Arya terhenyak. Dia tak menyangka Dumirah menyimpan rahasia sebegitu kelamnya. “Lalu apa yang terjadi, Mbah?”

Dumirah menarik napas panjang, berusaha mengumpulkan serpihan-serpihan ingatan yang telah lama dia kubur. “Aku ketakutan. Takut nyawaku terancam. Maka aku melarikan diri dari Jakarta, bersembunyi.”

Arya mengangguk, mulai paham alasan di balik kepergian Dumirah yang mendadak. Namun satu pertanyaan masih menggantung di benaknya. “Lalu… bagaimana dengan Kakek? Maksudku, Kakek Jatmiko?”

Sorot mata Dumirah menerawang jauh, menyelami kenangan manis sekaligus getir itu. “Kakekmu, Jatmiko, dia ditugaskan untuk menyelamatkanku. Membawaku ke tempat aman di Jawa Timur ini.”

Dumirah tersenyum tipis, senyum yang menyimpan sejuta makna. “Kami saling jatuh cinta. Tapi kami tahu, cinta kami tak mungkin bersatu. Aku hanyalah buronan, dia polisi yang punya masa depan cerah.”

Arya merasakan matanya memanas. Dia bisa merasakan kepedihan yang memancar dari setiap kata-kata Dumirah. Kepedihan dari cinta yang tak kesampaian.

“Kami hanya bisa saling menyurat, mencurahkan perasaan dalam untaian kata di atas kertas.” Dumirah tertawa kecil, tawa yang menyimpan tangis. “Hingga akhirnya Jatmiko memutuskan untuk menikahi Raras, sahabatku.”

Angin berdesir lembut, seolah ikut menghela napas berat bersama Dumirah. Arya terdiam, mencoba mencerna semua informasi yang baru saja diterimanya.

Ternyata inilah alasan di balik semua misteri ini. Alasan mengapa neneknya selalu bungkam soal masa lalu. Alasan di balik surat-surat cinta kakeknya yang tak pernah terkirim.

“Mbah…” Arya meraih tangan Dumirah, menggenggamnya erat. “Aku berjanji akan membantumu menuntaskan masalah ini. Kita akan mengungkap kebenaran di balik pembunuhan itu.”

Dumirah menatap Arya nanar, matanya berkaca-kaca. “Terima kasih, Nak. Tapi aku takut… Takut semua sia-sia. Sudah terlalu lama berlalu.”

Arya menggeleng tegas. “Tidak ada kata terlambat untuk kebenaran, Mbah. Kita akan memperjuangkannya bersama.”

Dumirah tersenyum, kali ini senyum yang lebih tulus. Senyum yang menyiratkan secercah harapan. Mungkin memang sudah waktunya dia menghadapi ketakutan terbesarnya.

Mungkin memang sudah saatnya kebenaran terungkap, tak peduli berapa lama waktu telah berlalu. Dan dengan dukungan Arya, Dumirah merasa lebih kuat dari sebelumnya.

Mereka berdua larut dalam diam, membiarkan angin menyapu lembut wajah mereka. Di tengah kuburan yang sunyi itu, tekad mereka untuk memperjuangkan keadilan semakin membara.

Dumirah tahu, ini tak akan mudah. Tapi setidaknya, dia tak lagi sendirian. Dia punya Arya, cucu dari pria yang pernah dicintainya, yang kini siap berjuang bersamanya.

Bersama, mereka akan menghadapi badai ini. Bersama, mereka akan menguak tabir gelap masa lalu dan meraih secercah cahaya kebenaran yang telah lama tersembunyi.

Arya sudah berpamitan ketika seorang gadis yang kira-kira seumuran dengannya keluar membawakan bungkusan oleh-oleh dari Dumirah untuk keluarga di Lumajang. Giliran Arya yang terpaku karena gadis di depannya adalah satu sisi pinang dari foto Dumirah yang ada di dalam tasnya. Mengucapkan terima kasih sambil mencuri-curi pandang. Ah sayang dia harus pergi.

[notokuworo.]

Surat Dumirah (2)

Photo by Pixabay on Pexels.com

Pakde Prayit menatap Arya lekat-lekat. Matanya menerawang, seolah mencari kata-kata yang tepat untuk memulai kisah.

“Dulu, di awal tahun 70-an, ada artis yang sangat cantik dan terkenal. Namanya Ratna Dania, dia terkenal, main beberapa film, menyanyi juga. Hampir semua orang paham bahwa Ratna Dania dekat dengan orang-orang besar pada waktu itu. Kamu tahu kan maksud pakde?” ucap Pakde Prayit dengan suara pelan. “Selang cuma setahun sejak pamornya, tiba-tiba Ratna Dania menghilang begitu saja, tidak pernah lagi ada pemberitaan. Nggak ada yang tahu keberadaannya. Seperti ditelan bumi.”

Arya mengerutkan kening, penasaran dengan kisah yang baru saja didengarnya. “Menghilang? Gimana maksudnya, Pakde?”

“Ya macam-macam kabarnya, tidak ada yang tahu persis waktu itu. Ada yang bilang Ratna Dania sudah meninggal, ada juga yang bilang ke luar negeri, bahkan katanya dia dibunuh. Maklumlah pada waktu itu semua serba ditekan. Pemberitaan seperti itu tidak pernah sampai ramai terdengar.” Pakde Prayit menghela napas panjang. “Tapi dalam keluarga Jatmiko, kita tahu bahwa Ratna Dania kemudian berganti nama jadi Dumirah.”

Nama Dumirah membuat jantung Arya berdegup kencang. Surat-surat cinta yang ditemukannya kembali terbayang di benaknya. “Dumirah? Jadi… Dumirah itu sebenarnya Ratna Dania?”

Pakde Prayit mengangguk pelan. “Iya, tapi cuma itu yang Pakde tahu. Entah bagaimana Dumirah dulu dekat dengan Bapak, Kakekmu, Jatmiko. Itu satu-satunya yang kami ketahui, bahwa Ratna Dania, tidak mati. Kemana orangnya berada, pakde tidak tahu.” Sambil mengangkat kakinya ke atas kursi teras, Prayit meneruskan “Waktu itu pemberitaan tidak seperti sekarang. Semua serba tidak jelas. Tapi orang lama-lama jadi terbiasa dan Dania tidak punya keluarga yang mencarinya. Kasihan, tapi begitulah, kami – pakde, ayahmu dan bulik Lilik tahunya.”

“Bapak menyimpan rahasia ini sampai sedo.” Prayit melanjutkan “Kau masih bingung?”

Arya mengangguk ragu. Ia mencoba mengingat-ingat kakeknya. Dan mencoba membayangkan sosok yang tubuhnya terlihat rapuh di usianya dulu itu adalah pacar seorang artis terkenal. Senyum mengembang di mulutnya, segera hilang karena bahunya ditoyor sama Pakde Prayit “Mikir apa kamu?”

“Kalau kamu mau tahu lebih banyak tentang Ratna Dania, kita bisa ke Tempeh. Kita bisa ketemu Bulik Lilik” Pakde Prayit meneruskan. “Waktu SMP, Bulikmu itu yang berada di posisimu sekarang, dia yang pertama menemukan surat-surat Dumirah untuk Bapak. Bahkan foto Ratna Dania sepertinya ada di Bulikmu”

Arya mengangguk-angguk setuju “Kok bisa Kakek Jatmiko kenal dengan Ratna Dania, paklik?”

“Sebelum terkenal sebagai Ratna Dania, mereka sepertinya sudah dekat. Ibu – Nenek Raras – itu malah sahabat dari Dania” Prayit melihat mata Arya melotot, lalu celingukan ke arah ruang tengah.

“Ngga usah repot-repot nanya nenek, Ya.” Pakde Prayit sudah menduga pikiran Arya, “Pakde, ayahmu, dan bulik Lilik sudah pernah mencoba, kami tidak dapat secuil pun informasi dari Ibu. Ngga ada yang berhasil. Bulikmu beberapa tahun mencoba, tapi Ibu tetap bungkam kalau Dumirah sudah disebut-sebut.” jelas Pakde Prayit.

Kontan seperti ada rasa gelembung di dada Arya, rasa keingintahuannya seperti berdesakan. Kalau sekarang mungkin sosok artis yang hilang bukannya akan jadi sepi, tapi malah jadi berita yang tidak habis-habisnya. Sebagian malah disebabkan oleh ulah arti itu sendiri. Pamor bisa didapatkan dengan berita apa saja.


Dua hari berlalu sejak pembicaraan Arya dengan Pakde Prayit. Pagi-pagi buta, mereka sudah bersiap untuk pergi ke Tempeh.

“Ayo Arya, kita berangkat!” seru Pakde Prayit dengan semangat.

Arya mengangguk mantap. Dia sudah tidak sabar ingin menguak misteri tentang Ratna Dania atau Dumirah ini.

Setibanya di kediaman Bulik Lilik, yang langsung menyambut di depan. “Wah, ada tamu istimewa nih! Arya? Wah, udah gede ya sekarang,” sapa Bulik Lili dengan senyum hangat. “Ayo, masuk dulu. Bulik buatkan es teh.”

Setelah berbasa-basi sejenak, Pakde Prayit langsung mengarahkan pembicaraan ke topik utama. “Begini dek, Arya ini sepertinya jadi penerusmu, tanpa sengaja surat-surat Dumirah di rumah Ibu dibacanya. Aku sudah menceritakan setahuku. Giliranmu yang nambahi.”

Raut wajah Bulik Lilik berubah serius. Dia menarik napas panjang sebelum memulai ceritanya.

“Wah, panjang ini ceritanya ..” Bulik Lilik tercenung, sudah agak lama dia berdamai dengan rasa penasaran yang dihadapinya tentang Ratna Dania atau Dumirah. Kenapa ibunya tidak pernah mau menceritakan, kenapa tidak pernah ditemukan lagi, bahkan kalau memang sudah meninggal, kenapa tidak pernah dikabarkan.

Bulik Lilik lalu beranjak ke lemari tua di sudut ruangan. Dia mengeluarkan sebuah album tua tapi kelihatannya disimpan cukup baik.

“Ini semua kliping koran yang pernah kutemukan,” kata Bulik Lilik sambil menyerahkan map itu pada Arya. “Di dalamnya ada beberapa berita tentang Dumirah.”

Dengan penuh rasa ingin tahu, Arya membuka album tersebut. Matanya terpaku pada headline berita yang tertulis dengan huruf tebal: HILANGNYA BINTANG MUDA RATNA DANIA; di kliping koran lain headline serupa juga sama besarnya dan tebalnya. Semua itu koran yang dikumpulkan pada tahun 1971 akhir.

Arya membaca artikel itu dengan seksama. Disebutkan bahwa Ratna Dania, seorang aktris berbakat, menghilang secara misterius di puncak karirnya. Tidak ada yang tahu ke mana dia pergi atau apa yang terjadi padanya.

Sambil melihat Arya yang menekuni kliping koran-koran itu, Bulik Lilik menceritakan “Bulik seumuran kamu juga pada waktu menemukan surat-surat itu. Sehabis Kakek Miko meninggal, bulik bebenah di rumah Lumajang, semua barang-barang Kakek Miko, bulik yang angkut ke atas itu”

Raras menceritakan bagaimana dia membaca sampai berulang-ulang. Semua surat difotocopy dan dipelajari di Surabaya, saat dia masih kuliah. Bertahun-tahun mencoba menanyakan ke ibunya, Raras. Tapi tidak pernah dijawab.

“Ini aneh sekali,” gumam Arya. “Kenapa dia tiba-tiba menghilang begitu saja?”

Bulik Lilik menggeleng. “Entahlah, Arya. Itu masih menjadi misteri hingga sekarang.”

Kemudian, Bulik Lilik mengeluarkan sebuah foto dari balik tumpukan koran. Foto itu menampilkan sosok wanita yang sangat cantik dengan senyum menawan.

“Ini foto Ratna Dania,” ucap Bulik Lilik pelan.

Arya terpana menatap foto itu. Kecantikan Ratna Dania benar-benar memukau. Matanya berbinar cerah, seolah menyimpan sejuta rahasia. Wajahnya yang tirus seperti magnet yang membuat tidak bisa lepas memandangnya.

“Dia… sangat cantik,” bisik Arya.

Bulik Lilik mengangguk setuju. “Ya, dia memang cantik luar biasa. Sayang sekali nasibnya harus berakhir tragis seperti ini. Ibu tidak pernah memberitahu apa yang terjadi. Mungkin karena masih marah kepada Bapak.”

Sebelum Arya dan Pakde Prayit berpamitan, Bulik Lilik sempat memberikan satu informasi lagi.

“Arya juga bisa mengunjungi Mbah Soegi di Sumbermanjing,” saran Bulik Lilik. “Beliau adalah bude kami, kakak dari nenek Raras. Mungkin beliau mau tahu sesuatu. Dulu bulik pernah coba, tapi waktu itu dianggap cari masalah.”

Arya mengangguk, dia ingat tempat mbah Soegi di Sumbermanjing. Di sana dekat dengan laut. Waktu masih sering diajak Ayah kesana, mereka sering makan kepiting dan cumi.

Mereka kemudian berpamitan meninggalkan kediaman Bulik Lilik, bertekad untuk menjumpai Mbah Soegi dan menguak tabir kebenaran di balik hilangnya Ratna Dania alias Dumirah.


Arya memulai perjalanannya menuju rumah Mbah Soegi di Sumbermanjing dengan penuh tekad. Matahari bersinar terik, namun tak menyurutkan semangatnya untuk mengungkap misteri tentang Dumirah. Sepanjang jalan, pikirannya dipenuhi tanda tanya dan harapan untuk menemukan jawaban.

Sesampainya di kediaman Mbah Soegi, Arya disambut dengan keramahan khas perempuan sepuh itu. Namun, ketika Arya menyinggung tentang Dumirah, raut wajah Mbah Soegi berubah. Ada keraguan dan kegelisahan yang terpancar dari matanya.

“Mbah, saya mohon. Ini demi keluarga kita juga,” pinta Arya dengan nada memohon.

Mbah Soegi terdiam sejenak, menimbang-nimbang keputusan yang akan diambilnya. Helaan napas panjang terdengar sebelum akhirnya dia angkat bicara.

“Baiklah, Arya. Mungkin ini memang sudah waktunya kebenaran terungkap,” ujar Mbah Soegi dengan suara parau. “Tapi kamu harus janji, jangan menghakimi siapapun setelah mendengar cerita ini.”

Arya mengangguk mantap, berjanji dalam hati untuk mendengarkan dengan pikiran terbuka.

Mbah Soegi memulai kisahnya, “Tahun 1972, Ratna Dania datang ke rumah orangtuaku di Malang. Wajahnya pucat dan tubuhnya gemetar ketakutan. Dia diantar oleh Jatmiko, kakekmu.”

Mata Arya membelalak. Ternyata benar, ada hubungan antara kakeknya dengan Ratna Dania.

“Jatmiko bilang, nyawa Dania terancam. Ada orang-orang yang mengincarnya karena dia menjadi saksi penculikan dan pembunuhan aktivis,” lanjut Mbah Soegi. “Sebagai polisi, Jatmiko merasa bertanggung jawab untuk melindunginya.”

Arya menyimak dengan seksama, mencoba merangkai kepingan-kepingan informasi yang didapatnya.

“Orangtuaku setuju untuk menyembunyikan Dania. Kami mengganti namanya menjadi Dumirah dan memalsukan identitasnya,” Mbah Soegi menghela napas berat. “Selama beberapa bulan, Dumirah tinggal bersama kami. Dia seperti bagian dari keluarga.”

Keheningan menyelimuti ruangan. Arya mencerna setiap kata yang diucapkan Mbah Soegi.

“Tapi kemudian, Dumirah menghilang tanpa jejak. Kami semua kebingungan dan khawatir. Jatmiko berusaha mencarinya, tapi sia-sia,” suara Mbah Soegi bergetar. “Sampai sekarang, kami tidak tahu apa yang terjadi padanya.”

Arya terdiam, berusaha memahami situasi yang dihadapi keluarganya puluhan tahun silam.

“Mbah, kenapa Mbah tidak pernah menceritakan ini pada Nenek Raras?” tanya Arya hati-hati.

Mbah Soegi tersenyum getir, “Aku tidak ingin Raras salah paham. Dia mungkin berpikir Jatmiko berselingkuh dengan Dumirah. Padahal, hubungan mereka murni sebatas polisi dan saksi yang dilindungi.”

Arya mengangguk pelan, mulai memahami kompleksitas situasi yang dihadapi keluarganya.

“Aku harap, dengan menceritakan ini, Raras bisa mengerti dan memaafkan kami yang telah menyembunyikan kebenaran selama bertahun-tahun,” ucap Mbah Soegi dengan nada penuh harap.

Arya menggenggam tangan Mbah Soegi, berusaha menenangkan perempuan sepuh itu. Dia berjanji dalam hati untuk membantu mengungkap misteri hilangnya Dumirah dan memperbaiki kesalahpahaman dalam keluarganya.

Matahari mulai condong ke barat ketika Arya berpamitan. Langkahnya terasa lebih ringan setelah berjumpa dan mendengar pengakuan Mbah Soegi. Namun, masih banyak pertanyaan yang belum terjawab. Arya bertekad untuk terus mencari kebenaran, demi keluarganya dan demi Dumirah yang nasibnya masih menjadi misteri.

Surat Dumirah (1)

Photo by cottonbro studio on Pexels.com

Matahari telah tenggelam ketika kereta ekonomi yang ditumpangi Arya Wijaya tiba di Stasiun Klakah, Lumajang. Suara peluit kereta memecah keheningan petang, bersamaan dengan decit roda besi yang bergesekan dengan rel. Seiring kereta meninggalkan stasiun, Arya membawa langkah kakinya menuju tulisan keluar.

Sambil menarik napas dalam-dalam, ia menghirup aroma sekeliling stasiun. Bau tanah basah sehabis hujan bercampur dengan aroma-aroma makanan, jagung bakar dan gorengan-gorengan yang dijajakan pedagang dan kantin kecil di luar peron.

Stasiun kecil itu masih sama seperti ingatannya bertahun-tahun silam. Tembok-tembok kusamnya memang sudah berganti. Kursi-kursi panjang dari kayu lapuk sudah menghilang. Diganti kursi tunggu berwarna biru. Perubahan sudah sampai kesini juga.

Begitu keluar stasiun, Arya langsung diserbu beberapa tukang ojek yang menawarkan tumpangan. Dengan logat Jawa timuran kental, mereka berebut penumpang bak kawanan semut mengerubuti gula.

“Monggo mas, ojek, ojek! Mau ke mana?” seru seorang bapak berusia paruh baya.

Arya tersenyum dan mengangguk. Ia naik ke atas motor butut itu, mencengkeram erat pinggang si tukang ojek ketika motor menderum meninggalkan stasiun. Angin malam yang dingin menerpa wajahnya, mengibarkan helaian rambut hitamnya yang mulai memanjang.

Sepanjang perjalanan menuju rumah neneknya, Arya mengamati suasana kota kecil itu lekat-lekat. Jalanan lengang dengan deretan pertokoan masih berjajar di kiri kanan. Makin banyak tapi tidak ramai. Lampu-lampu neon dan spanduk warna-warni menghiasi bagian depan toko, menerangi trotoar yang dilalui pejalan kaki.

Meski beberapa bangunan tampak lebih modern, sebagian besar masih sama seperti yang terekam di benak Arya. Semua itu membawa Arya bernostalgia ke masa kecilnya, saat ia menghabiskan liburan di rumah sang nenek.

Setengah jam kemudian, ojek yang ditumpangi Arya berbelok ke sebuah gang dan berhenti di depan pagar. Arya turun dan membayar ongkos, lalu melangkah masuk ke pekarangan rumah neneknya.

Rumah sederhana itu masih berdiri kokoh, dinding mengilat tertimpa cahaya lampu teras. Pot-pot bunga dan tanaman merambat menghiasi sekeliling rumah, menciptakan atmosfer asri nan tentram. Aroma masakan menguar dari jendela dapur yang terbuka, mengingatkan Arya pada masakan lezat sang nenek.

Belum sempat Arya mengetuk, pintu depan telah menjeblak terbuka. Sosok wanita tua mungil berdiri di sana, senyum lebar menghiasi wajahnya yang dihiasi keriput. Meski dimakan usia, mata wanita itu masih berbinar penuh semangat.

“Arya! Ayoo masuk” serunya riang seraya merentangkan tangan.

Arya menghambur ke pelukan sang nenek, merasakan kehangatan dan kasih sayang terpancar dari dekapannya. Meski telah lama tak bersua, ikatan batin di antara mereka masih sama eratnya.

“Ayo masuk, Nak. Nenek sudah masak banyak untukmu,” ujar sang nenek sambil menggandeng Arya ke ruang tengah.


Malam itu, setelah puas berbincang dan menyantap hidangan lezat buatan nenek, Arya memilih untuk tidur di kamar atas. Kamar masa kecilnya masih sama seperti dulu, ranjang kayunya yang sudah tidak ada, berganti dengan springbed, meja belajar, dan jendela besar menghadap sebuah bangunan besar perkantoran. Sudah tidak bisa lagi melihat langit berbintang dari sini.

Arya membuka laptop, niatnya ingin mulai mengerjakan skripsi yang sudah molor berbulan-bulan. Jemarinya sudah berada di atas keyboard, tapi otaknya buntu. Pikirnya mungkin karena masih capek perjalanan. Dia menghela napas panjang, menatap langit-langit kamar masa kecilnya yang kini terasa asing.

Matanya berkeliling, mencari distraksi. Di sudut kamar, lemari tua berdebu menarik perhatiannya. Lemari kayu jati dengan ukiran klasik, warisan sang kakek. Didorong rasa penasaran, Arya bangkit dan membuka pintunya yang berderit.

Di dalam lemari, barang-barang kakek tersusun rapi. Topi fedora usang, medali-medali penghargaan, pipa rokok, dan barang-barang nostalgia lainnya. Ada sebuah kotak kaleng yang letaknya terbalik. Arya bermaksud meletakkannya dengan benar ketika isinya keluar dari tutupnya yang tiba-tiba terbuka. Satu berkas diikat dengan pita.

Arya memasukkan lagi kumpulan kertas-kertas itu. Sekilas tulisan yang ada di dalam kertas-kertas itu terbaca dan isinya membuat Arya tertegun – setumpuk surat dengan kertas menguning termakan usia. Diambilnya selembar, tulisan tangan indah tertera di sana. Nama pengirimnya membuat dahi Arya berkerut.

“Dumirah? Siapa itu Dumirah?” gumamnya. Nama Nenek bukan itu, Nama nenek adalah Rara Samita. Siapa Dumirah ini, ulangnya. Didorong rasa ingin tahu, Arya mulai membaca. Kata-kata yang penuh kerinduan.

.. aku memikirkan kita. Kapan ke Malang? Rasa takutku sudah mulai reda, kemarin ibu yang di depan rumah ini mengantari masakan, dia banyak bertanya. Untunglah dia tidak mengenali aku. Mas tidak ada tugas lagi kah ke sini? Aku bersyukur bisa disini. Tapi aku juga merasa sangat sendiri…

Ungkapan kerinduan. Arya mulai mengira ini tentu adalah kekasih kakeknya. Tertera disana tahun dikirim suratnya 1980. Sudah lebih dari 4 dekade. Apakah setelah pernikahan kakek dengan nenek atau sebelumnya? Keduanya sama menyiratkan cerita yang membuatnya berkerut kening.

Kamu adalah ragaku, Mas Miko. Aku merindukanmu dalam setiap hembus napasku.

Arya membalik-balik surat yang paling awal dari perempuan yang bernama Dumirah ini. 1979, cuma dua tahun. Tapi sepertinya ditulis setiap minggu. Arya mengambil bagian paling belakang, tertanggal 2 Februari 1979. Isinya menggambarkan apa yang dirasakan Dumirah

Aku yakin ada orangnya di desa ini, Mas Miko. Kemarin ada yang berkendara lewat sini dan seperti melihat-lihat ke arah dalam. Aku ingin kamu ada disini, Mas. Firasatku kurang enak.

Aku tahu pasti kau akan bilang akan semakin besar kemungkinan kita diketahui kalau aku disana. Tapi pulanglah sebentar ..

Arya menelan ludah, jantungnya berdegup. Firasat buruk? Apa maksudnya? Tangannya gemetar membuka surat berikutnya, tapi tidak ada penjelasan. Arya merasakan Dumirah seperti diawasi, dan banyak dari isi surat di awal-awal ini ketakutannya tentang sesuatu yang tidak jelas.

Jam dinding berdetak, jarum pendek menunjuk angka sebelas. Arya tak peduli. Rasa penasaran mengalahkan kantuk. Surat demi surat dibaca, tenggelam dalam kisah cinta kakek dan wanita misterius bernama Dumirah ini.

Dia melirik jam dinding, pukul 23:55. Sudah hampir tengah malam, tapi rasa kantuk menguap entah ke mana. Otaknya dipenuhi pertanyaan tentang Dumirah dan hubungannya dengan sang kakek.

Kenapa Nenek tak pernah cerita? Apa yang terjadi pada Dumirah? Firasat buruk apa yang dia maksud?

Arya menghempaskan punggung ke kasur, menatap langit-langit dengan pandangan menerawang. Misteri ini mengusik benaknya, mengalahkan stres skripsi.

Dia harus mencari tahu. Besok, dia akan menanyakan langsung pada Nenek. Tentang Dumirah, tentang surat-surat ini, tentang masa lalu yang selama ini tersimpan rapat.


Pagi itu, mentari bersinar cerah menyinari rumah tua itu. Aroma masakan Nenek Raras menguar dari dapur, memenuhi seisi rumah. Arya duduk di meja makan, menyantap hidangan lezat buatan sang nenek dengan lahap. Nasi hangat, sayur lodeh, dan ikan asin goreng menjadi sarapan sederhana namun nikmat itu.

Saat Arya tengah meneguk teh manisnya, terdengar bunyi pagar belakang yang dibuka. Derap langkah kaki memasuki rumah, diiringi suara berat yang tak asing lagi. “Assalamu’alaikum! Ibu, Arya!” seru Pakde Prayit dengan nada riang.

“Wa’alaikumsalam, Pakde,” sahut Arya sembari beranjak dari kursi untuk menyambut pamannya. Mereka berpelukan sejenak, melepas rindu.

Nenek Raras muncul dari dapur dengan senyum mengembang. “Wah, tumben pagi-pagi sudah ke sini, Prayit. Ada apa ini?” tanyanya penuh keheranan.

Pakde Prayit terkekeh. “Tidak ada apa-apa, hanya mendengar Arya datang, jadi pagi tadi langsung kesini. Ingin mengobrol dengan ponakan,” ujarnya sambil menepuk pundak Arya. Mereka pun larut dalam perbincangan ringan, ditemani secangkir kopi dan kue-kue tradisional.

Obrolan mereka bergeser ke topik rencana masa depan Arya setelah lulus kuliah nanti. “Jadi, kamu mau kerja di mana setelah ini, Arya?” tanya Pakde Prayit penasaran.

Arya menggaruk kepalanya yang tak gatal. “Belum tahu pasti sih, Pakde. Tapi aku ingin coba melamar ke beberapa perusahaan di Jakarta,” jawabnya dengan nada sedikit ragu.

“Ngomong-ngomong soal kuliah, bagaimana skripsimu? Lancar?” Nenek Raras menyela, membuat Arya tersentak. Pertanyaan itu mengingatkannya pada surat-surat kakek yang ditemukannya semalam.

Arya menatap neneknya lekat-lekat. “Nek, aku tadi malam tidak sengaja melihat surat-surat Kakek. Siapa itu Dumirah? Kenapa Nenek nggak pernah cerita?” tanyanya memberanikan diri.

Raut wajah Nenek Raras berubah. Keengganan terpancar jelas dari sorot matanya yang sayu. Bibirnya terkatup rapat, seolah enggan mengucap sepatah kata pun.

Suasana mendadak hening dan canggung. Pakde Prayit yang menyadari ketegangan itu buru-buru angkat bicara. “Arya, bagaimana kalau kita ngobrol di teras depan saja? Ada yang ingin Pakde tunjukkan,” ajaknya sembari bangkit dari kursi.

Raras mengangguk pada Prayit, seolah menyatakan ‘sudah waktunya.’

Arya mengikuti Pakde Prayit ke bagian depan rumah, meninggalkan Nenek Raras yang masih terdiam dengan sorot mata menerawang.

Di teras depan, angin sejuk berhembus memainkan dedaunan pohon rambutan. Pakde Prayit duduk di kursi kayu tua, menepuk tempat di sebelahnya, mengisyaratkan Arya untuk duduk.

“Arya, mungkin ada hal-hal yang belum kamu ketahui tentang keluarga kita,” ucap Pakde Prayit memulai pembicaraan. Nada suaranya terdengar hati-hati, seakan memilih kata yang tepat.

Arya mengernyitkan dahi. “Maksud Pakde? Apa ini ada hubungannya dengan surat-surat itu?” tanyanya tak sabar.

Pakde Prayit menghela napas panjang. “Ya, ini tentang masa lalu kakekmu dan juga nenekmu. Tapi kamu harus mengerti, ada alasan mengapa hal ini tidak pernah diceritakan sebelumnya,” jelasnya dengan nada serius.

Pakde Prayit menatap Arya lekat-lekat. “Dengar, Arya. Ini bukan cerita yang mudah untuk diceritakan. Tapi kalau kamu memang ingin tahu, Pakde akan berusaha menjelaskannya. Hanya saja, kamu harus siap menerima apapun kenyataannya nanti,” ujarnya dengan nada penuh peringatan.

Arya menarik napas dalam-dalam. Tekadnya sudah bulat. Apapun rahasia yang tersimpan di balik surat-surat itu, dia harus mengetahuinya. “Saya siap, Pakde. Ceritakan semuanya,” pintanya mantap.

Pakde Prayit mengangguk pelan. Dia memandang jauh ke horizon, seolah menerawang ke masa lalu yang jauh. Perlahan, dia mulai mengisahkan sebuah cerita yang selama ini tersimpan rapi, tentang cinta, pengkhianatan, dan luka yang tak pernah terobati.

Haru

Photo by Karolina Grabowska on Pexels.com

Mereka sama menggunakan masker dan gogle, debu Bromo bahkan bergerak turun seperti tirai halus di antara mereka. Meski suara mereka terdengar tapi sulit melihat secara pasti siapa sebenarnya yang berbicara.

Tanti mengamati sosok Gitas yang sedang memberikan salam kepada ketua tim ini, dr. Yunus. Dibandingkan dengan Yunus yang seperti raksasa, Gitas memang sedikit lebih kecil. Itu karena ketua Tim Siaga Bencana itu berbadan besar sehingga yang lain di dekatnya seperti manusia-manusia kerdil. Gitas menjabat erat tangan Yunus dan kemudian akan menjabat satu-satu setiap tim. Tapi angin yang berhembus di halaman Puskesmas Sukapura membuatnya urung melakukan itu, alih-alih kemudian mempersilakan tamu-tamunya tersebut masuk ke dalam ruang pertemuan sekaligus posko kendali bencana Bromo.

Mereka memasuki ruangan pertemuan dengan langkah cepat. Yunus meminta timnya duduk di kursi yang telah disediakan. Dia dan Gitas menempati kursi bagian depaan , menghadap anggota timnya. Setelah semua duduk, Yunus memulai perkenalan.

“Bapak Kepala Puskesmas, sebelum kita mulai, saya ingin memperkenalkan anggota tim kami” ucap Yunus dengan suara lantang. Dia menoleh ke arah Gitas yang duduk di sebelah kanannya.

Yunus memulai dari ujung kiri. “Ini adalah dr. Budi,” Budi mengangguk sopan ke arah Gitas.

Yunus melanjutkan, “Di sebelahnya ada Suster Ratna, perawat senior yang berpengalaman dalam situasi bencana.” Ratna tersenyum ramah dari balik maskernya.

“Lalu kita punya Pak Hadi, koordinator logistik dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur.” Hadi mengangkat tangannya, memberi salam.

Yunus bergeser ke sebelah kanan. “Di sini ada dr. Ristanti, dokter umum dari Puskesmas Gondosari.”

Mendengar nama itu, jantung Gitas berdegup dan sepersekian detik nama itu telah membanjiri area memori di otaknya dengan kenangan. Gitas melirik sekilas, menatap sosok yang duduk di seberang meja. Meski tertutup masker dan kacamata, Gitas yakin itu adalah Tanti yang sama. Tanti balas menatap Gitas, matanya menyipit, menandakan sebuah senyuman.

Gitas mencoba mengendalikan keterkejutannya. Sudah satu setengah tahun sejak terakhir kali mereka bertemu. Kenangan masa lalu berkelebat dalam benaknya. Namun, Gitas segera menyadarkan diri. Ini bukan saatnya untuk nostalgia. Mereka di sini untuk tugas penting. Samar-samar ia mendengar Yunus yang sedang menyebutkan satu-satu nama anggota tim lainnya. Sambil berupaya mengangguk ke setiap orang.

Yunus mengakhiri perkenalan dan memulai diskusi. “Jadi, dr. Gitas, bisa tolong jelaskan situasi terkini dan bantuan apa yang Anda butuhkan?”

Gitas menarik napas dalam, mencoba mengembalikan fokus. “Seperti yang kita tahu, letusan Gunung Bromo telah menyebabkan hujan abu yang signifikan di Kecamatan Sukapura. Banyak warga yang mengalami gangguan pernapasan dan iritasi mata. Persediaan masker dan obat-obatan kami menipis.” Gitas juga menginfokan bagaimana hujan abu berpengaruh pada infrastruktur, sekolah ada yang ambruk atapnya, rumah penduduk juga. Kehidupan di Sukapura jadi suram seminggu ini.

Budi angkat bicara, “Kami membawa pasokan masker N95 dan obat-obatan untuk gangguan pernapasan. Kami juga siap memberikan konsultasi dan perawatan bagi warga yang membutuhkan.”

Gitas mengangguk, “Terima kasih, itu akan sangat membantu. Dr. Budi mungkin nanti di Puskesmas saja. Pasien yang sesak biasanya datang langsung ke Puskesmas, dok.”

“Selain itu, kami juga kesulitan dengan air bersih. Abu vulkanik menyulitkan untuk mendapat air yang tidak ada abunya.” Gitas melanjutkan.

Pak Hadi menyahut, “Kami sudah berkoordinasi dengan PDAM setempat. Kami juga dapat pinjaman 5 truk tangki dari Provinsi. PDAM akan menambahkan kiriman tangki-tangki air bersih ke titik-titik distribusi yang sudah ditentukan.”

Diskusi terus berlanjut, membahas setiap aspek bantuan yang diperlukan. Gitas memberikan informasi terperinci tentang kondisi di lapangan, sementara anggota tim menawarkan solusi dan dukungan.

Di tengah diskusi, Gitas sesekali mencuri pandang ke arah Tanti. Ada banyak pertanyaan yang ingin dia ajukan, banyak hal yang ingin dia sampaikan. Namun, Gitas tahu, ini bukan waktu yang tepat. Mereka harus fokus pada misi yang ada di depan mata.

Pertemuan berlangsung selama setengah jam berikutnya. Setiap detail dibahas dengan seksama, setiap tugas dibagikan dengan jelas. Mereka semua tahu, waktu adalah esensi dalam situasi seperti ini. Setiap detik yang terbuang dapat berarti penderitaan bagi warga yang terdampak.

Ketika pertemuan berakhir, Yunus menutup dengan ucapan terima kasih dan penekanan akan pentingnya kerjasama tim. Semua anggota mengangguk dengan tekad yang terpancar di mata mereka. Mereka siap menghadapi tantangan yang ada di depan.

Tim kemudian diberikan waktu untuk istirahat di Wisma Tamu. Jaraknya tidak terlalu jauh dari Puskesmas, jadi mereka memutuskan untuk berjalan kaki ke sana.


Gitas mengantarkan tamunya, dan menjajari langkah Tanti yang memang berada paling akhir dari rombongan itu. Tanti menyurutkan langkahnya dan membalikkan badan. Mereka saling menatap sejenak.

“Halo” Tanti memulai

“Kenapa ngga bilang?” Gitas menurunkan maskernya.

Tanti menyentuh tangan Gitas, meminta waktu. Dia menolehkan kepalanya dan mohon izin kepada dr. Yunus. “Dok, saya nyusul ya. Mau ngobrol dulu sama dr. Gitas. Saya nanti kesana sendiri. Kunci kamar saya sudah di Mbak Ratna.”

Yunus mengiyakan. Dia sudah diberitahukan bahwa dr. Ristanti adalah pembina Klinik Graha Medika tempat dr. Gitas bekerja sebelum pindah ke Sukapura. “OK. Kita baru besok actionnya. Take your time.”

Tanti tersenyum dan berbalik lagi ke arah Gitas, “Tanya apa tadi?”

“Kok ngga bilang-bilang ditugasi di sini?” Gitas meneruskan. “Aku .. kita.. sudah berapa lama ya?”

“Setahun lebih mungkin.” Tanti memahami pertanyaan itu. Ini adalah bulan ke 18. Dia tidak memerlukan perkiraan. Dia hapal betul kapan Gitas tiba-tiba meninggalkan Klinik Graha Medika. Ada sedikit rasa kesal, tapi dia tahu ada rasa lain yang lebih bergelora saat ini.

Gitas kemudian bercerita tentang penerimaan CPNSnya yang waktu itu seakan tiba-tiba. Semuanya berlangsung begitu cepat. Dari pengumuman sampai dengan tiba-tiba pemberkasan, dia berada di Probolinggo.

” .. ibu juga sudah meninggal, tepat pada waktu pengurusan berkas CPNS itu. Jadi harus mondar mandir ke Palangkaraya juga.”

Tanti ganti terkejut. Sedikit rasa kesal yang tadi ada langsung menguap. Dia menyampaikan belasungkawa dan meminta maaf tidak tahu itu terjadi.

“Ngga pernah ke Klinik lagi?” Tanti bertanya.

Gitas menggeleng, “Dari penerimaan CPNS dan waktu ibu ngga ada itu, langsung mulai masuk pelatihan-pelatihan. Disini, dokter sangat kurang. Kepala Puskesmas juga dirangkap. Jadi balik seperti PTT dulu. Oya, bagaimana kabar mbak Odah, mas Erwin, lainnya? Masih jadi pembina Graha Medika kan?”

Tanti mengangguk. “Mbak Odah masih sama, cerewet tapi baik hati. Mas Erwin juga, masih suka bercanda. Sekarang dokternya tiga orang. Sudah jadi rawat inap kliniknya. Oya mak Ijah dibuatkan kantin kecil di belakang. Gorengannya sekarang juga dibeli pasien.” Tanti tersenyum menceritakan mereka. “Klinik berjalan seperti biasa, tapi rasanya ada yang kurang tanpa mas dan Cesa.”

Mendengar nama Cesa disebut, atmosfer di antara mereka berubah. Kenangan akan sosok ceria itu menyeruak, membawa serta rasa kehilangan yang masih membekas. Tanti tahu ia sudah kelepasan.

Gitas menarik napas dalam, berusaha mengendalikan emosinya. “Aku masih sering teringat Cesa. Bagaimana dia selalu bersemangat, selalu punya ide-ide brilian untuk klinik.”

Tanti mengangguk, matanya berkaca-kaca. “Dia seperti matahari, selalu menerangi hari-hari kita. Kepergiannya terlalu cepat, terlalu tiba-tiba.”

Mereka terdiam sejenak, membiarkan kenangan tentang Cesa menyelimuti mereka. Senyumnya yang hangat, tawanya yang renyah, semangatnya yang menular. Semua itu kini hanya tinggal kenangan.

Gitas memecah keheningan, “Memang terlalu cepat” sambil menundukkan kepala. Mereka masih saling bertukar cerita tentang momen-momen berharga bersama staf-staf Klinik Graha Medika, tapi Cesa memang selalu jadi tokohnya. Selalu ada bagaimana Cesa yang hadir untuk menghibur ketika mereka lelah, bagaimana dia selalu punya solusi kreatif untuk setiap masalah di klinik.

“Ingat inovasinya tentang Pemantau Jentik Berkala itu? Di Puskesmas ini kami buat yang mirip dengan itu.” Gitas bertanya, senyum kecil menghiasi wajahnya.

Tanti mengangguk, mengenang. “Dia penuh ide, kami beruntung pernah punya jejaring Graha Medika. Kami sangat terbantu saat itu.”

Kenangan demi kenangan mengalir, membawa kehangatan di tengah kesedihan yang mereka rasakan. Cesa mungkin telah tiada, tapi kehadirannya masih terasa kuat dalam setiap cerita yang mereka bagi.

Tanpa sadar, air mata menetes di pipi Tanti. Gitas mengulurkan tangan, menyeka air mata itu dengan lembut. Tatapan mereka bertemu, penuh pengertian dan dukungan.

“Cesa akan selalu hidup dalam kenangan kita,” Gitas berkata lembut. Rahangnya mengeras menahan kembali ke momen-momen itu.

Mereka terdiam lagi, membiarkan kesedihan dan kehangatan memenuhi hati mereka. Meski Cesa telah tiada, ikatan yang terjalin di antara mereka, kenangan yang mereka bagi, akan selalu menjaga Cesa hidup dalam hati mereka. Tanti mengulurkan tangan, Gitas sejenak balas menggenggam. Sebuah gestur sederhana, namun sarat akan dukungan dan pengertian. Tanti menemukan kekuatan dalam kehangatan tangan Gitas.

Dalam diam, mereka berbagi duka dan kekuatan. Kenangan akan Cesa mungkin membawa rasa haru yang dalam, namun juga mengingatkan mereka pernah dipersatukan karena itu. Sebuah ikatan yang terbentuk dari pengalaman bersama, dari tawa dan air mata yang telah mereka bagi.Dan dalam momen itu, di tengah hiruk-pikuk bencana yang menanti untuk ditangani, Gitas dan Tanti menemukan kedamaian dalam kebersamaan. Sebuah pengingat mereka tidak sendiri.

Waktu

Photo by Giallo on Pexels.com

Gitas berdiri di depan jendela kamar jaga dokter, memandang ke halaman Klinik Graha Medika yang kini tampak berbeda. Matanya menelusuri setiap sudut, mengamati perubahan-perubahan yang terjadi selama beberapa tahun terakhir. Halaman yang dulu hanya ditumbuhi rumput jepang, kini telah disulap menjadi tempat bermain anak-anak dengan ayunan dan perosotan warna-warni. Luas area berumput bahkan sudah jauh kalah besar dibandingkan dengan paving block yang mendominasi sebagian besar halaman.

Dia menghela napas panjang, merasakan hawa dingin dari AC yang baru saja dipasang di kamar jaga. Dulu, mereka hanya mengandalkan kipas angin yang suaranya berisik bila mas Ujang lama belum membersihkannya, suara yang memecah keheningan malam. Namun sekarang, ruangan ini terasa seperti kutub utara, dingin menusuk tulang. Meski begitu, Gitas tidak yakin apakah rasa dingin yang menyelimutinya murni karena udara buatan atau karena kekosongan yang ditinggalkan oleh seseorang.

Pikirannya melayang ke ruang periksa, tempat di mana dulu dia dan Cesa menghabiskan banyak waktu bersama. Kini, ruangan itu dilengkapi dengan mesin USG canggih yang pernah diminta Cesa pada yayasan. Gitas ingat bagaimana mata Cesa berbinar penuh harap saat mengajukan permintaan itu. Gitas bisa membayangkan bagaimana senyum yang merekah lebar bila dia sempat mengalami ketika akhirnya mesin itu tiba.

Semua tampak berbeda sekarang. Tentu saja, ketidakhadiran Cesa adalah perubahan terbesar yang tak bisa diabaikan. Waktu seolah membuat ketiadaannya semakin nyata, membungkus Gitas dalam kegelapan yang tak berujung. Dia merindukan tawa renyah Cesa yang menggema di lorong klinik, sentuhannya yang menenangkan saat Gitas merasa lelah, dan kehadirannya yang selalu membawa kehangatan di tengah kesibukan mereka.

Gitas melangkah menjauh dari jendela, duduk di tepi ranjang dengan kepala tertunduk. Tangannya menggenggam erat boneka Rusia milik Cesa. Boneka itu ditemukannya di dalam sebuah kotak. Cesa pernah menceritakan namanya adalah matrioska. Boneka berlapis yang selalu ada boneka yang lebih kecil di dalamnya. Sampai pada rongga yang terakhir, tempat Cesa meletakkan liontin yang diberikannya sebagai oleh-oleh untuk Cesa.

Tapi kini, tawa itu sudah tidak ada lagi, Gitas merasa seolah sebagian dari dirinya telah hilang, dibawa pergi bersama kepergian Cesa yang terlalu tiba-tiba.

Dia memejamkan mata, membiarkan kenangan demi kenangan bermain di benaknya seperti film yang tak ada habisnya. Setiap momen berharga yang mereka lalui bersama, setiap percakapan yang mereka bagi, setiap impian yang mereka rajut, kini hanya tinggal serpihan-serpihan yang harus dia susun kembali seorang diri.

Gitas tahu, waktu akan terus bergulir dan perubahan akan terus terjadi. Namun, dia juga tahu bahwa cintanya untuk Cesa akan selalu ada, tak lekang oleh waktu dan tak pudar oleh jarak. Meski kini Cesa hanya hidup dalam kenangannya, Gitas berjanji untuk menjaga api itu tetap menyala, sebagai penghormatan untuk wanita yang telah mengajarkannya arti cinta sejati.

Hilang

Photo by cottonbro studio on Pexels.com

“Ma, lihat Matrioska yang biasanya diatas mejaku, ngga? ” tanya Cesa dengan suara tergesa-gesa, sambil tangannya masih sibuk mengangkat bantal sofa dan buku-buku di meja.

Ibunya, seorang wanita paruh baya dengan rambut yang mulai memutih di sisi-sisi kepalanya, melihat kesibukan Cesa dari ruang tengah. “Yang boneka rusia itu?”

Cesa mengiyakan, sambil masih sibuk mencari. Mamanya kelihatan menonton acara di televisi, dan berkomentar lama tidak melihat boneka itu. Matrioska adalah boneka-boneka yang dirancang khusus agar boneka yang lebih kecil berada di bagian dalam dari boneka yang lebih besar. Setiap boneka itu memiliki rongga di dalamnya. Cesa mendapatkan dari mendiang ayahnya. Tapi yang penting dari boneka itu adalah di rongga bagian dalam boneka yang paling kecil, dia meletakkan manik yang diberi oleh Gitas. Oleh-oleh dari saat Gitas pulang ke Kalimantan.

Meski wajahnya membuat senyum simpul karena ingatannya yang tiba-tiba dipenuhi Gitas, perutnya terasa melilit. Cesa sedikit menekuk badannya untuk meringankan nyeri. Kenangannya tentang batu manik yang diberikan kepadanya itu membuatnya pernah bertanya-tanya. Cesa baru kurang lebih satu tahun mengenalnya. Meskipun sebagai karyawan Gitas tergolong baru di Klinik tempat mereka bekerja, usianya lima tahun lebih tua dibandingkan usia Cesa.  Gitas bekerja sebagai tenaga medis PTT di sebuah kecamatan yang agak di pedalaman Kalimantan. Setelah menyelesaikan tugasnya di sana, Gitas mencari kerja di Jawa Timur, dan mendapatkan ada lowongan di Klinik Graha Medika, tempat Cesa lebih dahulu bekerja.

“Ketemu, Cesa?” suara ibunya memungkas lamunan. “Mana bisa ketemu, kalau sambil termenung begitu? Dicari !” ledek ibunya. 

“Biar, sudah. Nanti paling ketemu juga” sambil masih meremas perutnya yang baru mulai jadi lebih enak. “Aku mau ke Klinik dulu, ma.”


Pagi itu, Klinik Graha Medika sudah ramai dengan pasien yang datang silih berganti. Cahaya matahari pagi menyinari lorong klinik, menciptakan suasana yang hangat dan nyaman. Dr. Cesarina, yang di klinik biasa dipanggil sebagai dr. Rina, berjalan menuju ruang pemeriksaan.

Ketika memasuki kamar periksa dengan namanya di bagian pintu, Cesa bertemu dengan Odah, perawat yang dikenal karena sikap centilnya. Odah sedang berdiri di depan cermin, memperbaiki penampilannya.

“Morning, Dok. Kok kelihatan pucat. Semalam tidur larut ya?” tanya Odah sambil tersenyum melalui pantulan cermin.

Cesa menghela nafas, mencoba menyembunyikan rasa tidak nyaman di perutnya yang kembali terasa. “Iya, nih. Lagi kurang fit aja. Tapi, ada yang lebih penting dari itu. Hari ini saya udah janjian sama anak bu Rokayah, yang panas kemaren itu. Semoga sudah reda demamnya.”

“Sepertinya sudah ditangani dr. Gitas, dok. Tadi ibunya membawa anaknya pagi sekali.”

Cesa menoleh, “Bagaimana kondisinya? Apakah sudah ada perbaikan?”

“Dirujuk. Saya kurang jelas. Tadi waktu saya baru datang, bu Rokayah dan sudah membawa anaknya ke mobil. Masih bisa jalan. Tapi demamnya ngga turun-turun, kata dr. Gitas. Ibunya juga sepertinya khawatir, makanya dirujuk.”

“Baik, nanti saya tanya dokter Gitas.”

“Orangnya masih ada, tuh” Odah yang bisa melihat kedekatan kedua dokternya ini mengedip-ngedipkan matanya.

“Kenapa? Kelilipan?”


Cesa menatap hasil lab pasien di tangannya, dahinya berkerut. Di musim panas? Ini tidak biasa. Dia berjalan cepat menuju ruangan dr. Gitas, map biru di tangannya.

“Sudah lihat hasil lab-nya Doni? Lihat deh. Ini aneh banget,” ujarnya begitu membuka pintu.

Gitas mengangkat wajah dari tumpukan berkas di mejanya. “Anak bu Rokayah tadi? Kenapa, Sa?”

“Ini, hasilnya. Trombo 23.000. DBD kah?” Cesa menyodorkan map itu. “Musim panas begini kok bisa ya?”

Gitas menerima map dan membacanya dengan seksama. Keningnya berkerut. “Hmm… memang nggak biasa. Kok cepat ya? Kan baru kemaren panasnya.”

Cesa mengangguk. “Ya tapi di rumah sudah tiga hari. Yang aneh waktunya kok sekarang-sekarang ini.”

“Kita perlu lebih waspada.” Gitas menutup map, wajahnya serius. “Minta Erwin untuk mengingatkan bila ada permintaan pemeriksaan darah, perhatian pada Trombo-nya.”

“Iya.” Cesa bergegas keluar, hampir bertabrakan dengan Odah di pintu.

“Eh, dokter berdua. Ada apa nih? Kok serius amat?” tanya Odah penasaran.

“Ini lho, mba Odah. Doni anaknya bu Rokayah itu kayaknya DBD,” jelas Cesa.

Mata Odah membulat. “Hah? Sekarang kan belum musim hujan, Dok?”

“Nah, itu dia. Makanya kita heran.” Cesa menyilangkan lengan. “Coba datangi ke rumahnya. Lihat-lihat ada genangan air atau tempat-tempat yang bisa jadi sarang nyamuk Aedes. Sebelum kita laporkan.”

“Oke, siap, dok!” Odah “Rumahnya dekat sini kok, dok.”

Gitas menghampiri mereka, wajahnya masih serius. “Kalau begitu kita juga harus hati-hati. Aedes bisa terbang jauh.”

“Tenang, Dok. Nyamuknya takut kok sama aku!” Odah tertawa renyah sebelum berbalik pergi.

Gitas dan Cesa bertukar pandang.

“Bisa aja ada genangan air di sekitar rumah pasien. Atau mungkin dia baru bepergian ke daerah endemis.” Cesa berspekulasi. “Yang penting sekarang kita tangani dulu.” Kasus seperti ini seharusnya sudah ada beberapa. Ada pihak-pihak yang punya kepentingan dengan adanya kasus-kasus demam berdarah. 

Seolah bisa membaca pikirannya, Gitas berkata, “Kita laporkan dulu ke Dinas Kesehatan. Siapa tahu mereka punya info tambahan.”

“Ide bagus, Dok.” Cesa setuju. “Aku juga mau cek stok cairan infus dan obat-obatan. Siapa tahu ada kasus lain, kita harus siap.”


Cesa meremas-remas perutnya sambil bertekuk pada lututnya. Rasa sakit itu datang lagi. Apalagi ini dirasakan sambil mendengarkan bu Odah yang marah-marah, karena ditegur oleh staf puskesmas Gondosari. Pada saat dilaporkan ke Dinas Kesehatan, kasus DBD ini jadi pertanyaan kepada Gondosari, kenapa tidak ada laporan. Justru klinik yang malah melaporkan. Kontan yang punya pekerjaan jadi seperti kebakaran jenggot.

“Lha mereka kan ngga didatangi sama bu Rokayah. Kenapa jadi sewotnya sama saya. Masih untung ngga bablas sampai 10.000 sudah ketahuan. Amit-amit. Pak Jono itu ceriwisnya kayak gitu banget. Memangnya saya kesenengan banget punya pasien DBD.” Odah nyerocos panjang kali lebar.

“Sudah,” Cesa meredakan kejengkelan Odah “Memang kita seharusnya juga kemaren itu ngga langsung ke Dinas Kesehatan. Saya terlupa, kita bisa minta bantuan dulu ke Puskesmas.”

Odah masih ngomel-ngomel beberapa saat, tapi melihat pimpinannya juga sudah terima , ia sudah mulai reda. Dan baru terlihat olehnya dr. Rina memegang perut dengan wajah yang agak pucat.

“Kenapa, dok?”

“Ngga tahu, perut saya sakit, hilang timbul.”

“Saya panggil dr. Gitas ya?” tanya Odah.

“Ngga usah, paling nanti juga hilang lagi.” Sahut Cesa “Mungkin ikut marah-marah perutnya gara-gara mbak Odah dimarahi sama pak Jono.”

Odah tersenyum kecut.


Sudah jam 14.00, waktunya ganti dokter jaga dan Gitas sedari tadi sudah ada di ruang yang digunakan untuk berkumpulnya staf-staf Klinik Graha Medika. Ada kopi dan teh yang disediakan di ruangan itu. Kalo sedang tidak repot, mak Ijah – ibu Odah – seringkali juga meletakkan dagangannya di sana. Gorengan yang biasanya tidak sempat bertahan sampai sore sudah ludes.

“Bisa ngobrol sebentar, dok?” di depan staf lain, Cesa selalu menyebut Gitas dengan sapaan dok atau dokter Gitas, sebagaimana sebaliknya Gitas selalu menyebutnya dokter Rina.

Gitas bangkit dari duduknya dan menyusul di belakang Cesa ke arah Ruang Periksa. Ia melihat ada gelagat pembicaraan serius yang akan mengikuti.

“Apa ada masalah dengan Puskesmas Gondosari?” tanya Gitas sambil duduk di depan Cesa. Baru saja mereka mentertawakan Odah yang kembali marah-marah pada saat menceritakan kembali perihal teguran pak Jono dari Gondosari.

“Bukan. Ini konsultasi pribadi.” Cesa memulai.

“Eh?” Gitas meluruskan duduknya.

“Kok berapa hari ini, Cesa nyeri perut terus ya, mas. Hilang timbul dan kadang nyeri sekali, sampai harus membungkuk, agak hilang kalo seperti itu.”

“Mana? Coba diperiksa.” Gitas menunjuk bed periksa.

“Ngga ada yang khas. Ngga mual. Dan kalo kayak sekarang ngga terasa sakitnya.” Sambil bergerak malas ke tempat yang ditunjuk Gitas.

Gitas meletakkan tangannya di bagian atas perut Cesa, menekan disana dengan lembut. Meskipun tahu itu harus dilakukan tak urung tangan Cesa ikut ke arah perut. Karena baginya ini adalah pertama kali Gitas menyentuh bagian lain selain tangannya. “Ngga sakit. Ngga mual juga.”

Gitas menyusur ke bagian bawah, dan pada saat menekan bagian bawah kanan dia melihat muka Cesa, yang juga tetap sama tenangnya. “Ini sakit, Sa?”

“Ngga. Cesa sudah pernah Apendektomi, mas.” jelas Cesa.

“Coba duduk.” dilanjutkan dengan Gitas memukul dengan tangan terkepal punggungnya. Mencari kemungkinan ada gangguan pada ginjal. Tapi sama nihilnya. “Periksa Radiologi?”

“Nanti mungkin.” Cesa menggeleng. Baru belakangan ini yang dia merasakan ada perubahan pada badannya. Agak berpengaruh ke pergerakan, yang biasanya menurut Odah, dokter yang ngga bisa diam.

Gitas memegang tangannya. Gadis di depannya adalah sesama dokter, yang bisa sama-sama mendeteksi bila penyakit memerlukan hal yang lebih serius untuk dilakukan pemeriksaan.

Saat Gitas menyentuh tangan Cesa, ada kelembutan dalam pegangannya, sebuah pengakuan tanpa kata bahwa di antara mereka bukan hanya ada hubungan profesional, tetapi juga perhatian yang lebih mendalam. “Kamu tahu, Sa, sebagai dokter, kita terlatih untuk mendeteksi tanda-tanda penyakit. Tapi, …” dia berhenti, mencari kata-kata yang tepat, “…saya hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja.” Ini bukan hanya tentang kesehatan fisik Cesa, tetapi juga tentang beban emosional yang mungkin dia pikul sendirian.

Sudah beberapa minggu ini mereka akhirnya memutuskan untuk meningkatkan status hubungan kolega menjadi saling memperhatikan dan merindukan. Cesa keliatan tidak keberatan, Gitas belum menyampaikan isi hatinya. Meski masih bimbang, dia sudah yakin, gadis didepannya ini akan sangat mudah membuatnya teralih fokus.

Cesa tidak berupaya melepaskan genggaman Gitas. Justru merasa nyaman dengan ada orang yang bisa diajak berdiskusi. Kalau dia lapor ke mama, sudah pasti saat ini sudah dalam perjalanan ke rumah sakit. “Aku pulang saja dulu, mas. Coba istirahat di rumah.”

Gitas yang menjajari langkah saat Cesa keluar dari ruang periksa. Di ruang belakang, Odah yang memang sedang menyesap tehnya, melihat mereka menuju ke arah luar. Segera ia menyenggol Erwin yang kontan sempoyongan karena sambil menjaga agar kopi yang baru diambilnya tidak tumpah.

“Apa sih, mbak Odah?!” Erwin protes. Mata Odah berkedip kedip ke arah dua orang dokter mereka yang sedang berjalan menjauh ke arah luar. Melihat kelakuan Odah dan Erwin, semua yang di ruang istirahat tertawa termasuk mak Ijah.


Cesa berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit penuh motif bintang-bintang. Pikirannya berputar-putar, melompat dari satu hal ke hal lainnya. Kasus DBD yang ditanganinya beberapa hari lalu kembali muncul hari ini. Seorang anak dengan gejala yang sama. Kekhawatiran mulai menggerogoti benaknya.

“Kenapa tiba-tiba jadi bertambah kasus begini ya?” gumamnya pada diri sendiri. “Dimana nyamuk-nyamuk itu berkembangbiaknya? Kan mereka tidak bisa berbiak di got”

Cesa menghela napas panjang, mencoba mengundang ngantuk. Namun, seolah belum rela pergi, pikirannya justru beralih ke masalah lain yang mengganggunya. Nyeri perutnya.

“Apa ya penyebabnya? Haid juga normal-normal aja.” Cesa bertanya-tanya sambil mengingat-ingat siklusnya. Dia sudah mengeliminasi kemungkinan itu, tapi tetap saja belum menemukan jawaban yang memuaskan. Memang memerlukan mata yang bisa menembus ke dalam rongga perutnya.

Tiba-tiba, bayangan tatapan Gitas melintas di benaknya. “Gitas…” Nama itu meluncur lembut dari bibirnya. Sosok rekan kerjanya itu kini memenuhi pikirannya, menggeser sejenak kekhawatiran tentang kasus DBD dan nyeri perutnya.

Cesa tersenyum kecil mengingat betapa cepatnya mereka menjadi akrab dan cocok. Pertemuan pertama mereka di klinik seolah sudah ditakdirkan. Kecocokan di antara mereka terjalin dengan begitu natural, baik dalam pekerjaan maupun obrolan santai di sela-sela kesibukan. Takjub sekaligus heran. “Kayak udah lama kenal,” renungnya

Secepat kecocokan itu terjalin, secepat itu pula bara asmara mulai menyala di hati Cesa. Perasaan yang awalnya hanya sebatas rasa nyaman dan kagum, perlahan berubah menjadi sesuatu yang lebih intens, lebih dalam. “Apa tidak terlalu cepat ya?” Sekelumit ada rasa takut menyisip yang tidak sempat lama karena segera disergap kantuk yang memang ditunggunya.

Dinamika News

Photo by Kawu00ea Rodrigues on Pexels.com

Hujan deras mengguyur ibu kota, menambah suasana dingin di dalam ruangan kerja Laila Sari. Di bagian pojok , Laila duduk di meja kerjanya yang berantakan penuh dengan dokumen-dokumen dan laptopnya yang terbuka, menampilkan layar penuh dengan berbagai judul berita yang menunggu untuk ia telusuri lebih dalam. Butir-butir air hujan yang menempel pada kaca jendela di sampingnya menambah keindahan kontras antara dalam dan luar ruangan, seolah-olah membingkai dunia luar yang sedang dihujani dengan dunia dalam ruangan yang penuh dengan pencahayaan hangat.

Laila menatap tajam layar komputer di depannya, jari-jarinya lincah menari di atas keyboard. Dia sedang mengolah data untuk sebuah laporan investigasi mengenai korupsi di salah satu dinas pemerintah daerah. Wajahnya, yang diterangi sinar layar, mencerminkan keteguhan dan fokus yang mendalam. Rambut panjang bergelombangnya terikat rapi, memberinya tampilan profesional sekaligus praktis.

Di sebelah meja Laila, Tyas dengan santai mengunyah snack sambil membaca berita terkini dari layar komputernya. Suara ketukan keyboard dan klik mouse sesekali diselingi dengan tawa kecil Tyas yang menemukan sesuatu yang menarik atau lucu dalam berita yang dibacanya.

“Tahu nggak, Lel?” Tyas memulai pembicaraan tanpa mengalihkan pandangannya dari layar. “Ada artis yang kena skandal lagi. Kali ini lebih heboh dari sebelum-sebelumnya.”

Laila mengangkat wajahnya sejenak, memberikan senyum tipis. “Dunia selebriti memang nggak pernah sepi dari drama,” jawabnya, sebelum kembali fokus pada laporannya.

Di meja lain, Rian sibuk memeriksa kamera dan peralatan fotografinya. Pria muda itu terlihat antusias, seringkali tersenyum sendiri saat menemukan angle atau pengaturan yang pas untuk sebuah shot. Rambutnya yang berantakan menambah kesan dinamis pada penampilannya.

“Lel, ada waktu nggak nanti siang? Aku mau nunjukin foto-foto dari liputan kemarin. Ada beberapa shot yang bagus banget, bisa jadi bahan kuat buat laporanmu,” Rian berkata dengan semangat.

Laila mengangguk tanpa menoleh. “Nanti siang pas istirahat kita lihat bareng. Pastiin aja dulu datanya valid dan kuat ya.”

Kantor Dinamika News selalu dipenuhi dengan suasana seperti ini. Dinamis, penuh kesibukan tapi tidak kehilangan nuansa kekeluargaan di antara para stafnya. Laila, sebagai salah satu wartawan muda yang ambisius, merasa sangat nyaman berada di lingkungan ini. Dia tahu betul pentingnya kebersamaan dan kerjasama dalam menghadapi tantangan-tantangan berat dalam dunia jurnalisme.

Meskipun seringkali pekerjaannya membutuhkan konsentrasi penuh dan terkadang menyita banyak waktu, Laila selalu mencoba untuk menyeimbangkan antara ambisi profesionalnya dengan kebutuhan emosionalnya. Itu juga alasan mengapa dia sangat menghargai momen-momen kecil bersama Tyas dan Rian.

Saat jam istirahat tiba, mereka bertiga berkumpul di pantry kecil di sudut ruangan. Sambil menyeruput kopi, mereka membicarakan berbagai hal, dari perkembangan terbaru dalam berita hingga hal-hal ringan seperti rencana akhir pekan.

“Jadi, gimana investigasimu, Lel?” Tyas bertanya sambil menyesap kopi panasnya.

Laila menghela napas panjang. “Masih banyak yang harus digali. Tapi aku punya keyakinan kuat ada sesuatu di balik semua ini.”

Rian, yang telah menyiapkan laptopnya di meja, mulai memperlihatkan foto-foto yang telah ia ambil. “Lihat ini,” katanya sambil menunjuk salah satu foto yang tampak sangat menggugah.

Laila mendekat, matanya memeriksa setiap detail dalam foto tersebut. “Bagus sekali, Rian. Ini bisa jadi bukti kuat untuk laporan.”

Mereka melanjutkan diskusi tentang strategi untuk melengkapi laporan investigasi tersebut. Meski topik pembicaraan berat dan penuh tantangan, suasana tetap hangat dan penuh semangat kolaborasi.

Pagi dan Hujan

Photo by Sami Aksu on Pexels.com

Pagi hari ini di Puskesmas Wanasari jadi dingin, awan mendung berkumpul rapat, memang sudah menjanjikan hujan yang akan turun. Tapi kedatangannya terjadi tanpa disangka oleh Arief, yang mengabaikan tirai rintik pada saat berjalan ke Puskesmas. Rumahnya hanya berjarak 50 meter dari Puskesmas, jalan yang dilaluinya adala paving yang kiri kanannya perdu rendah yang sudah menampung air di dedaunannya. Tak urung Arief terpaksa harus berlari menembus tabir air yang makin tebal dan membasahi baju snell yang digunakannya di luar seragam khakinya.

Pintu belakang ..

Gaung Sunyi

Photo by Rakicevic Nenad on Pexels.com

Di tengah hutan pinus, dimana cahaya matahari berjuang menyelinap melalui dedaunan yang rimbun, sebuah suasana diciptakan. Udara dingin, bercampur dengan aroma tanah yang basah dan daun yang gugur sejak lama, membawaku ke ruang isolasi alam semesta, tenang namun memilukan. Langit masih kelabu, menyimpan sisa hujan bulan lalu yang belum lagi resap ke tanah; alam masih berselimutkan pemandangan dengan selubung kesedihan yang belum mampu diucapkan.

Suara daun-daun yang berisik dihempas oleh langkah kaki angin, yang berjalan tanpa tujuan, mencari sesuatu yang mungkin tidak pernah ditemukan. Di sini, alam sedang menikmati solitude-nya. Warna-warna yang biasanya menyemangati hati, kini terasa suram, dan hari terasa semakin memerosok ke dalam ketiadaan.

Aku merasa kecil, hilang, dan tak berdaya. Kesendirian, yang tidak lagi menjadi pilihan melainkan penjara, membuat pikiranku terperangkap dalam labirin kenangan yang tidak bisa diganti dan dilupakan. Namun, dalam kesendirian ini, ada musik; melodi yang mengisi keheningan, menarikan baris demi baris nada yang bergaung kecil, tanpa hasrat untuk ikut meniti. Alam, dengan keheningannya, tidak juga membuat notasi untuk membuka jeruji keheningan.

Namun, kekuatan untuk berdaya dan menetap diri, kudapati dalam cara baris kata demi kata berhamburan menisik ruang diantara girus dengan girus. Itulah satu-satunya yang terasa berdendang, satu-satunya yang memberikan sensasi ada sesuatu yang lebih besar dari kesendirian ini.

[notokuworo.]

Kalau Sudah Begini ..

Photo by Daria Shevtsova on Pexels.com

Kalau sudah begini, aku jadi ingin mendekapmu lebih erat, menikmati dinginnya angin di lereng ini. Dan bercerita kepadamu tentang hidup yang aku tahu. Dan menikmati saat-saat dimana kita bisa begitu dekat. Membuka tirai-tirai masa-masa yang sudah lewat. Darinya kita bisa berkaca. Membentangkan cermin yang memantulkan siapa kita. Mengaca pada kehebatan-kehebatan masa lampau. Biasanya kita akan bersandar di dipan dekat pintu ke balkon yang banyak angin itu. Membiarkan pintunya terbuka sedikit, dan hembusan angin itupun membawa kita kepada kesejukan yang acap menggigit.

Kalau sudah begini, aku juga ingin menceritakan hari-hari yang sedang kulalui. Apa saja yang sudah kucapai dalam hidup dan kenapa aku menjalaninya. Lantas aku harus menjawab pertanyaan-pertanyaanmu tentang kenapa kita harus terpisah ribuan kilometer dan bertemu sesekali seperti ini. Dan kita harus mengulang lagi dari awal kenapa dulu kita begini. Aku akan segera berpikir keras untuk membuatmu tertawa. Agar kita segera melupakan kenapa jarak selalu bisa membuatmu menangis. Mungkin juga bukan karena jaraknya. Entahlah ..

Kalau sudah begini, aku akan memelukmu lebih erat, mendengarkan kau bercerita tentang pengalamanmu di tempat kerja, caramu yang mencereweti rekan kerjamu dan menenangkanmu dari amarahmu pada orang-orang yang biasa mengesalkan harimu. Menyandarkan kepalamu di dadaku, dan membelai rambut yang terurai menyelimuti kita. Dan seringkali sedikit angin yang berhembus akan menyibak rambutmu dan akupun menatanya kembali. Sambil menatap ke dalam beningnya matamu, aku akan ganti bercerita tentang bagaimana aku harus bersama-sama suku yang masih tertinggal. Dan bertemu dengan orang-orang yang sama sekali baru, bahkan bahasa yang digunakannya. Matamu acap membelalak dan segera banyak pertanyaanpun meluncur dari bibirmu yang menggairahkan itu.

Kalau sudah begini, aku sering menghabiskan ceritaku di bibirmu. Dan melupakan sejenak dimana kita berada. Berdekatan denganmu memang selalu membawa getar itu. Dan bersamamu aku pasti ingin menumpahkan rinduku, seperti biasanya cara yang kita kenal. Hanya saja karenanya, kita tidak bisa menuntaskan cerita-cerita. Dan bila sudah saja kitapun akan terlena. Kita akan terbuai angin yang membelai lembut kulitmu dan segera akan mengusikku untuk menutupkan selimut dari ujung kakimu. Dan kitapun menuntaskan malam itu. Tapi aku tidak akan segera tertidur.

Kalau sudah begini, aku justru akan menghabiskan malam dengan memandangi wajahmu. Terkadang mendaratkan bibirku ke dahimu. Mengawalmu sekuatku, memandangi dengkur halusmu, dan kadang aku tak tahan untuk tidak menitikkan airmata mensyukuri betapa beruntungnya aku memilikimu. Selamat malam, sayang. Selamat tidur.

[Murnajati, Lawang]