Month: August 2021

10 Tahun

Photo by Markus Winkler on Pexels.com

If it doesn’t matter in 10 years, it doesn’t matter.

Unknown

Apa yang tidak berarti dalam 10 tahun, saat inipun tidak berarti apa-apa. Tidak usah sibuk memikirkan sesuatu itu akan seperti apa di saat ini. Jadi pikirkan yang berdampak dalam jangka panjang. Baik mari kita mulai perjalanan ke dalamnya.

Apa ya yang saat ini remeh temeh saya lakukan untuk jangka panjang?

  • Keseharian untuk menjaga kesehatan – penting
  • Habits sehari-hari untuk menjaga fokus hari itu – penting – meski tidak langsung ya. Pekerjaan-pekerjaan jadi terselesaikan dan itu akan membuat suatu saat pada masa pensiun mendapatkan sesuatu yang berarti. Entahlah
  • Tidur 6 jam – cukup lah, agak kurang sih kadang-kadang. Mengganggu sampai ke masa depan?
  • Habits yang berupa ibadah – sangat penting.
  • Habits menulis? mmm.. iya lah ya .. terutama kalo mau komersial. Bakalan dijual menjadi sesuatu. Dan terus menyebabkan belajar.
  • Journaling – ini harusnya iya mempelajari hidup ya harus disediakan bahannya. Kalo tidak ditulis repot mempelajarinya lagi. Karena itu menulis bukan sekedar hobby.
  • Belajar dari orang lain – misalnya dengan memodelnya dari Youtube – Agak Penting. Penting juga punya cara sendiri. Tapi lebih lagi yang penting adalah bagaimana kebaikan-kebaikan yang dipelajari bisa diterapkan dan dishare.

Jadi yang ngga masuk disitu ya?

  • Hobby nonton? Haish ..
  • Coba nanti ini kembali lagi ke sini ya beberapa saat setelah ketemu hal-hal percum tak bergun.

Bagaimana membuat kita selalu fokus mempertimbangkan masa depan ini ya? Perlu dicari ini. OK segitu dulu deh.

@draguscn

Keberuntungan

Photo by Andrea Piacquadio on Pexels.com

Tiga area ya? Pekerjaan dulu deh. Menjadi surveior rasanya lebih banyak luck pada tahap awal. Seandainya Onti Lili ngga telpon mungkin status berada di puskesmas masih jauh dari kesempatan untuk menjadi seorang surveior. Meskipun setelah dilihat-lihat lagi Allah sudah mempersiapkan ini jauh sebelumnya. Dengan menjadikan orang yang banyak mawas dengan berbagai materi kesehatan karena harus pelatihan ini dan itu.

Apalagi area lainnya:

  • Loving family
  • Teman yang baik
  • Guru yang hebat
  • Tempat tinggal yang luar biasa.

Hidup di tengah-tengah anak-anak yang berbakat ini membuat jiwa selalu mudah ingin memulai sesuatu terus, minimal membuat paham untuk menjaga tidak ketinggalan dan bisa membimbing anak-anak.

Guru-guru, coaches, mentor, dan jenis lainnya asbab pengetahuan dan keterampilan sampai kepada saya adalah juga yang harus disyukuri. Mungkin juga disebut sebagai keberuntungan.

Seandainya tidak ada tiga hal ini tentu saja hidup saya jadi berbeda dengan sekarang. Karena ketiganya membawa pengalaman-pengalaman sendiri. Jelajah pada tempat-tempat tersendiri. Tidak akan sama tanpa ada ketiganya.

Ini tentu saja menimbulkan syukur. Dan menguatkan pada saat-saat sulit. Kalau saja itu yang bisa disebut sebagai keberuntungan. Maksud saya lebih kepada betapa beruntungnya bukan melihatnya sebagai salah satu nomor undian yang akan muncul bila di lempar dadunya.

Apakah dulu saya sudah punya pendapat seperti ini dalam bentuk keberuntungan. Rasanya iya. Saya tidak pernah tergantung dengan keberuntungan yang bersifat judi ya. Ada sih dulu dalam hidup saya menjalani sebagai seorang broker. Tapi makna keberuntungan itu kurang saya dapatkan juga sebagai judi karena saya memang menganalisis. Tidak meletakkan spot sembarangan.

Nah begitu kira-kira tentang keberuntungan

Perubahan Positif

Photo by Yogendra Singh on Pexels.com

Jadi lebih sehat adalah hal yang saya dapatkan di akhir tahun lalu. Berat badan sampai turun 16 Kg. Kemudian hari-hari saya olahraga dan berasa lebih bugar, penampilan juga jadi gedombrangan karena belum sempat bikin baju yang lebih muat. Bertemu orang juga jadi lebih pede. Ini harus dipertahankan.

Apa ya yang bakalan jadi penghalang. Ya tentu saja kebiasaan buruknya juga sudah mengintai. Menurut ilmunya pemberdayaan, kebiasaan membentuk sinaps penghubung antara cue (tanda, isyarat, pemicu) dengan reward (kepuasan, imbalan, hadiah). Jadi bila cue muncul dan kemudian dilakukan tindakan, menghasilkan reward dan makin lama dilakukan makin menebal sinaps ini. Bila suatu saat kita mencoba melakukan jaras sinaps yang lain dan cue muncul jaras yang paling besar (sudah jadi kebiasaan) lah yang akan dilewati.

Maka kebiasaan buruk tidak hilang pada saat kita sudah terbiasa melakukannya. Malah dia akan mengintai terus kapan pemicu itu datang. Misalkan pemicunya adalah coklat di atas meja. Kemudian kebiasaan buruknya menyantapnya tanpa menghiraukan sedang IF, sementara kebiasaan baik yang sedang dibangun adalah IF. Maka mana yang lebih kuat. Bila biasanya ada coklat di atas meja makan langsung santap dan berakibat kepuasan. Sedangkan IF belum bisa menandingi bagaimana jaras ini maka boleh jadi kita akan terus terperosok disana.

Jadi bagaimana. Sementara belum kita coba selebrasi dulu apa yang sudah kita dapatkan sekarang. Sambil terus melakukannya.

@draguscn

Meski Sulit,

Photo by Nothing Ahead on Pexels.com

Biasanya saat kita dalam keadaan giat melakukan sesuatu, tanpa menyadari sudah menembus kesulitan demi kesulitan. Yang sering kali kita tidak menyadari. Tapi dari orang luar atau pada saat berbeda kita bisa melihat bahwa diri kita sudah luar biasa.

Mengenali faktor-faktor yang bisa menimbulkan kegigihan saat berada dalam kesulitan itu juga menyebabkan kita bisa memanfaatkannya kelak di kemudian hari pada saat kita sedang tidak fokus, sedang kurang motivasi.

Jadi kalau ditanyakan ke saya kapan momen saya merasa tidak pernah capek melakukan sesuatu dan meski sulit tetap saya lakukan?

Ambil waktu pertama masuk PKM Wonomerto saja deh. Itu adalah pas tahunnya akreditasi puskesmas. Dan hasil akhirnya adalah terakreditasi Utama. Loncat 2 strata dari dasar menjadi utama. Pada saat itu saya mengerjakan banyak hal dalam satu hari. Apa ya faktornya?

  • Niat (intensi) yang kuat. Ada motifnya karena saya adalah surveior maka saya tidak ingin orang melihat hal yang tidak sesuai pada yang saya pimpin.
  • Perhatian (atensi). Saat itu sudah banyak surveior sehingga saya bisa lebih fokus memperhatikan ke dalam.
  • Pemahaman sudah cukup kuat.
  • Imbalan, kenaikan strata dari faskes.

Sejauh ini intensi, atensi, pemahaman dan imbalan adalah 4 hal yang bahkan dalam keadaan sulit saya masih bisa hadapi.

@draguscn

Jika sampai waktuku

Photo by Akshar Dave ud83cudf49 on Pexels.com

Kalau berandai-andai tahu besok meninggal, pertanyaan yang diajukan prompted journal adalah, apa yang most regret not having done … agak ruwet ya .. karena pasti banyak banget yang mau dilakukan.

Tapi saya memahami ini memotivasi kita untuk tidak menunda-nunda pekerjaan yang bisa dilaksanakan sekarang. Seringkalikan kita berpikirnya, ah gampahlah .. besok aja kalo itu. Nah itu sebenernya besok itu sejauh mana ya kita diperkenankan merencanakan. Karena toh sore ini bisa saja ada kejadian yang membawa besok tidak kesampaian.

Jadi bagaimana kalo ternyata hari ini adalah satu-satunya hari yang tersisa. Apa yang mau dilakukan? Atau apa sih yang kira-kira saya sesali tidak sempat dilakukan. Pasti baliknya ke anak lagi. Ya, pasti pengennya anak-anak sudah bisa dengan sadar diri memperbaiki keadaan. Mandiri. Dan tidak lagi tergantung dengan orang lain. Ini mungkin yang rasanya lebih penting.

Juga tentang kualitas ibadah mereka. Jangan sampai sepeninggal saya malah akan tidak teratur beribadah dan tidak bisa khusyu. Apalagi sampai hilang iman, kufur nikmat, fasik. Itu mungkin ya kalo diberi satu hari dan hanya bisa berpikir atau mungkin menasehati.

Mungkin juga untuk kualitas pribadi adalah menyesali tidak memperbaiki ibadah. Kalau yang berkaitan dengan harta, kemampuan diri, dan hal lain rasanya tidak akan terlalu disesali. Karena toh sudah akan ditinggalkan juga. Tapi kesempatan di dunia ini untuk bertaubat, beribadah dengan penuh kekhusyuan, memperbanyak yang sunnah selain meneguhkan yang wajib. Ini mungkin lebih akan disesali.

Dari perenungan ini mungkin perlu menambahkan habits yang diutamakan adalah yang berkaitan dengan ibadah. Ahli dalam ibadah. Semoga Allah memberikan kemampuan.

@draguscn

Hikmah dari Kegagalan

Photo by Mark Arron Smith on Pexels.com

Apa ya kegagalan terakhir. Oya memenuhi tenggat penulisan buku di DWB. Itu beneran hectic dan akhirnya saya ngga bisa menyelesaikan juga target yang saya susun. Memang kalo dilihat semuanya pas sedang tidak bisa kompromi dengan waktu. Saya mencoba merasionalisasi diri apakah ini karena saya takut dan mental block lainnya tapi satu-satunya yang saya ngga punya ternyata memang cuma waktu.

Apakah ini bener-bener gagal? Ya ngga juga lah ya .. karena sekarang masih dalam proses. Berarti mengatakan bahwa ini gagal juga salah kalo dianggap sebagai tujuan ya. Adanya ya proses yang tidak sesuai. Benar-benar gagal tidak ada. Kita masih bisa mengulang lagi proses tersebut, yang kata Alfa Edison bisa sampai 999 kali cara lain untuk menyalakan lampu. Yang kita tahu adalah cara ke-1000.

Tapi balik lagi ke “terhambat” menuliskan DWC dan DWB kenapanya kan harus kita pelajari. Apakah karena tidak percaya diri? Apa benar-benar hanya karena waktu? Atau mungkinkah bukan karena menulisnya? Tapi karena masalah pekerjaan? Tapi bukan dari waktunya. Mungkin dari beban pikirannya. Bisa juga sih.

Di siang hari pulang kerja itu biasanya ada waktu yang cukup leluasa dari jam 15.00 – 21.00 atau kurang lebih 6 jam untuk melakukan macam-macam. Kalo ini menulis dan setiap 25 menit sudah menghasilkan 250 kata saja maka ini sudah bisa dikatakan mendapat kurang lebih 3600 kata.

Ini yang sering jadi tanda tanya, kenapa dengan sesi siang itu kok jadi bener-bener unproduktif. Apakah perlu ditelaah kenapa jadi mengganggu sekali urusan kantor ke pribadi. Karena mungkin pribadinya cuma satu. Karena mau ngga mau ini adalah salah satu peran dari satu orang. Dokter, kapus dan penulis. Bisakah peran ini saling ganggu.

Kalo tanya temen-temen psikolog sepertinya jawabnya akan iya. Okelah nanti kita tanya. Sekarang hikmahnya apa?

  • Belajar jadi bisa lebih lama dengan topik yang sama, sehingga lebih matang
  • Muncul ide-ide baru yang ternyata saling berkaitan.

Coach Aji pernah bilang kalo macet ya dinikmati saja macetnya. Sama seperti jalanan di Jakarta. Namanya kita sudah terlanjur berada dalam kemacetan kalo kita ngamuk-ngamuk juga ngga akan menyelesaikan masalah. Kita cari manfaat dari kemacetan ini. Dan kemudian pada saatnya bisa jalan meskipun cuma sedikit kita berjalan.

Jalanmu tampak limbung
Niatmu terasa urung
Apa sedikit rasa melindas asa
Apa tujuan tidak lagi tampak nyata

@draguscn

Azimat

Photo by Anete Lusina on Pexels.com

Apa yang dalam keadaan sulit terasa menjadi dukungan? Pastinya orang-orang ya. Terutama yang sepemikiran. Dalam membahas permasalahan kalau ada yang memahami bagaimana asal-muasal cerita dan bagaimana kemungkinan-kemungkinan penyebab, kemungkinan penyelesaian, memahami sumberdaya yang bisa digunakan. Terasa menjadi dukungan terhadap penyelesaian masalah.

Apa yang bisa menjadi perhatian saya pada saat saya sedang berada dalam kesulitan? Selama ini saya juga tergantung dengan pendapat orang-orang yang punya kewenangan dan punya kompetensi menyelesaikan permasalahan. Apakah selalu. Ngga juga. Saya kadang lupa ada orang-orang ini bisa diminta pendapat. Dan jumud dengan diri saya sendiri. Atau bahkan kadang malah hanya membicarakannya saja dengan beberapa teman yang tidak menyelesaikan masalah. Apakah mereka bisa menenangkan saya? Ya dan tidak. Kadang malah nambah pekerjaan. Tapi saya jadi punya arah. Biasanya gitu.

Benda? Apa ya? Blog barangkali. Tempat curhat saya. Saya bisa menulis macam-macam. Kadang blogpost itu hanya berisi metapora. Yang kadang nggak terlalu terhubung. Yang penting sudah saya buat. Menulis bukan hanya menenangkan tapi juga menyalurkan. Kadang ada juga permasalahan yang jadi selesai dengan saya menuliskan. Ini biasanya berhubungan dengan tiba-tiba terkoneksi antara apa yang pernah jadi pengetahuan saya dengan apa yang bisa menjadi solusi.

Apa lagi ya? Buku? Agak sulit juga ya kalo lagi bete membaca. Tapi ada juga sih yang saat-saat pengen ngga mikirin, begitu, malah jadi baca-baca. Meskipun jadinya pasti tidak produktif. Inti dari pelarian seperti ini biasanya adalah ngga mau berhadapan dengan masalah. Tapi juga “berasa” nikmat dilakukan. Misalnya baca komik/manga. Itu bisa mulai dari tengah atau bahkan dari awal. Tapi kebiasaannya ngga pernah bisa menahan akan sampai akhir. Pada tahun 2019 akhirnya saya kemas komik-komik yang sering bolak-balik saya baca kalo lagi bete. Sekarang berada dalam bungkus plastik dalam kotak-kotak plastik seukuran koper-koper gaban. Itu ada mungkin dua kotak.

Sepanjang saya ingat saya belum punya slogan. Kecuali kalo teriakan YESSS bisa dihitung ya berarti itu sudah. Setidaknya tidak mendarah daging. Dulu pernah pengen punya anchor mengusap paha bila ada kesulitan. Saya kait-kaitkan dengan bagaimana saya mendengarkan entranchment dan visualisasi gazebo di tepi pantai. Tapi setelah itu ngga pernah lagi. Ngga tahu juga kalo ngga sadar saya lakukan ya.

Ngga ada quote dari seseorang yang bener-bener nampol. Tapi saya punya ayat andalan dari QS. Al Baqarah, ayat-ayat akhir. Allah tidak memberikan ujian pada pada orang yang tidak bisa menanggungnya. Keyakinan bahwa semua cobaan berasal dari Allah itu perlu dalam perspektif saya. Karena kadang ada yang buntu pada hanya masalah saja. Dan terutama bila yang diandalkan adalah manusia. Tapi bila keyakinan kesulitan adalah cobaan Allah maka pasti kesanggupan menanggungnya akan berimplikasi pada kemampuan berbuat sebaik-baiknya.

Jadi kalau saya boleh melisting jimat apa saja yang bisa jadi penyemangat saya pada saat berhadapan dengan kesulitan, mungkin itu adalah:

  • Tilawah atau shalat / menjadi imam dan membaca QS 2:284-286 dan QS. Al Nasr
  • Seorang Teman yang membantu. Lihat kompetensinya.
  • Menulis untuk menyelesaikan masalah.

Semoga bisa jadi kebiasaan dalam menghilangkan kesulitan. Setidaknya sudut pandangnya.

@draguscn

Blessing in Disguise

Photo by Stefano Risso on Pexels.com

Bila melihat kata Blessing in Disguise, saya selalu keinget bu Nyoman dan perjalanan kami ke Luxembourg, negara kota yang tidak ada dalam rencana. Hanya karena ternyata waktu di Perancis tidak bisa kami tambah untuk liburnya maka dipilihlah beberapa yang dekat-dekat saja. Dan Belgia serta Luxembourg jadi pilihan. Waktu itu agak dipandang sebelah mata, karena rasanya pengennya ke negara yang agak besar kalo sudah sampai di Eropa.

Luxembourg, 2012

Kenyataannya beralih menjadi rasa syukur menyaksikan keindahan, kenyamanan, rasa tenteram yang didapatkan pada saat melihat kota negara kecil ini. Kota tua dengan taman Echternach, katedral Notre Dame, dan tentu saja Jembatan Passerelle Viaduct. Benar-benar membuat kami mensyukuri yang tadinya bukan rencana awal yang diremehkan menjadi akhir yang menyenangkan.

Makannya juga enak dan halal, hari itu perjalanan ke Luxembourg menjadi kenangan tersendiri. Tentang kota yang ternyata indah. Saat kita makan siang itu tercetus “blessing in disguise.”

Bagaimana mengatasinya pada kasus Luxembourg ini memang cuma menjalaninya saja. Dan pada saat sampai bersyukur melihat keindahan yang diberikan. Suatu pelajaran untuk tidak terburu-buru menjustifikasi buku dari sampulnya.

@draguscn

Buah Hati

Photo by cottonbro on Pexels.com

Anak adalah hal yang membuat saya menurunkan pertahanan. Keluarga mungkin ya. Juga berlaku untuk istri dan ibu. Di dekat mereka dunia seringkali berhenti. Dan seringkali hal-hal tertentu mempengaruhi perasaan. Kesalahan menangani hubungan dengan mereka menyebabkan rasa yang tidak nyaman. Apa yang dilakukan sebagian besar adalah untuk kepentingan mereka. Pekerjaan dan bagaimana kehidupan sehari-hari berputaran di mereka.

Pada saat berada di antara mereka, ada kesenangan yang bisa menandingi menulis. Segala kesenangan ini bisa berupa ketenangan. Kenyamanan berada di lingkungan. Dan tidak harus menjaga bagaimana pekerjaan kita membuat kita menjadi. Tapi menjadi diri sendiri. Dan bisa berbicara dengan leluasa. Sebaliknya juga lebih menerima apa yang jadi permintaan mereka. Kenyamanan yang sama.

Bagaimana pada saat berada dengan pimpinan, ya, mungkin saya tidak punya kebebasan menolak juga. Tapi lebih didasarkan kepasrahan karena orang dekat. Tapi karena menyadari sebagai pimpinan dan bawahan. Apalagi bila kemudian permintaan yang diberikan di luar nalar untuk memenuhi. Pasti ada ketidaknyamanan.

@draguscn

Lanjut, PD

Photo by Monstera on Pexels.com

Terakhir saya percaya diri adalah pada saat memberikan materi di pertemuan orangtua dan guru SMP, waktu itu mau mengambil kesepakatan tentang pelaksanaan vaksinasi pada anak usia 12-17 tahun. Saya memberikan penyuluhan dan merasa cukup percaya diri dengan apa yang saya sampaikan. Bahkan karena saya merasa mic saya kurang nyaring bunyinya, saya agak keras bersuara pada saat itu. Mungkin juga karena saya merasa mulai lelah dengan pekerjaan yang seperti kurang mendapat dukungan ini. Hehe.

Continue reading “Lanjut, PD”