2

Photo by Tea Horvat on Pexels.com

Malam laknat itu sudah lewat satu tahun, tetapi hantu yang membayang-bayangi tiap malam Cakra terus ada setiap kali dia menutup mata. Tempat mereka tinggal tidak membantu kesepian yang timbul. Rumah ini memang di tengah kota, tapi suasana perumahan yang dihuni oleh para pegawai dan pensiunan ini sudah sepi sejak waktu Isya.

Keheningan menyelimuti Cakra yang berbaring di tempat tidurnya, sepi bagai gelombang tenang lautan yang sampai ke pantai. Berdenyut tapi segera menjadi kosong. Ketidakhadiran sosok di sampingnya, membuatnya semakin merasa berdiri di pantai yang hanya berkawan ombak. Setiap malamnya menjadi begitu sunyi.

Tak terbilang ia merindukan kehangatan pelukan istrinya, suara yang kadang ditinggalnya lebih dulu terlelap. Tanpa Sintia, malam-malamnya terasa dingin dan berhantu. Hantu rasa bersalah. Hantu jika dan andai.

Paginya selalu diisi dengan alarm pagi yang menggema di seluruh ruangan kosong. Tiap hari ia harus bangkit dengan berat hati. Tiap hari menuju ke tempat-tempat di dalam rumah ini yang biasa dihuni oleh nyonya rumah adalah siksaan baginya.

Dapur kecil di apartemennya adalah rutinitas pagi yang tak pernah berubah, bedanya kali ini dia menyiapkan sendiri. Membuat kopi, sarapan seadanya, dan menatap kosong pada meja makan yang sekarang hanya diisi satu piring. “Pagi, dik,” gumamnya pelan, kebiasaan yang tetap bertahan meskipun hanya menghadapi udara kosong. Tak jarang kopi dan roti ditemani air mata yang tak tertahankan.

Satu-satunya yang menarik fokusnya dari hantu-hantu rumah ini dan hantu dalam dirinya adalah pekerjaan. Cakra adalah programmer. Dengan bertimbun proyek dari hal yang paling sederhana, pembuatan website sampai dengan yang rumit dan cepat berkembang di tahun-tahun ini, AI. Entah ia sengaja ambil atau memang dia adalah andalan dari mas Anom, kepala divisi development di kantornya, tidak ada waktu yang benar-benar kosong dalam jadwal Cakra. Bahkan kadang dua sampai tiga job diambilnya. Ruang kerjanya lebih banyak di dunia maya. Kantornya juga sama sepinya. Ada dua puluh orang yang bekerja, tapi mereka sama-sama ditulikan oleh headset dengan beraneka lagu.

Ruang kerja Cakra bahkan meluas sampai ke rumah. Mas Anom tidak peduli dimana dia bekerja. Selama dia masih terlihat aktif di dalam sistem mereka, itu berarti Cakra sedang membuka desktop dahsyat di rumahnya. Berikutnya yang diharapkan Anom adalah proyeknya selesai tepat waktu. Cakra berada dimana dan pikirannya ngelayap kemana bukan perhatian utama Anom.

Setiap kode yang ditulis Cakra, setiap algoritma yang ia pecahkan, dan tumpukan pekerjaan demi pekerjaan ini dilakukan dan memang bisa mengusir bayangan kehilangan Sintia. Sampai waktu tidur kembali tiba.

Dunia terisolasi di kantor dan rumah, sering membuatnya merindukan sapaan di setiap waktu yang dijalaninya. Meski seakan terjerat dalam rutinitas, itu satu-satunya cara yang dia tahu untuk bertahan. “Aku harus terus bergerak,” bisiknya pada dirinya sendiri. “Aku harus tetap sibuk, karena saat aku berhenti, saat itulah rasa sakit itu kembali.”

Malam itu, saat berbaring, Cakra melihat langit-langit kamar dengan tatapan yang kosong. “aku rindu kamu, dik” gumamnya sebelum akhirnya terlelap. Satu tahun berlalu, tapi luka itu masih terasa segar, dan perjalanan untuk sembuh masih panjang.

Leave a comment