Gayatri

Photo by Elti Meshau on Pexels.com

“Gayatri! Tolong aku!”

Suara itu memecah keheningan malam. Gayatri tersentak bangun, jantungnya berdegup kencang. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Itu tadi mimpi? Tapi terasa sangat nyata. Rina, ya, itu suara Rina.

Tanpa pikir panjang, ia melompat dari tempat tidur. Kakinya nyaris terpeleset di lantai marmer yang dingin saat ia berlari ke lorong. Pintu kamar Rina terbuka lebar. Kosong.

“Rina!” Gayatri berteriak, panik menguasainya. Ini malam yang sunyi. Rumah meraka jauh dari tetangga. Suaranya terdengar nyaring diiring gema dari rumah besar itu. Dimana Rina?

Peringatan ibunya dulu tiba-tiba melintas di benaknya: Jangan dekati gudang tua di belakang rumah.

Segera Gayatri melesat ke halaman belakang. Gudang tua itu persis di belakang rumah. Tapi jalan kesana penuh dengan rumput tajam. Kaki tergores beberapa. Gayatri tidak peduli. Saat ini fokusnya hanya satu. Rina.

Jantungnya terasa berhenti. Pintu gudang itu terbuka sedikit. Ada cahaya dari dalam. Gayatri mendekat. Dengan tangan gemetar, didorongnya pintu itu. “Rina?”

Sebuah bayangan bergerak di sudut. Gayatri menahan napas. Di sana, Rina terduduk. Wajah pucat. Mata terbelalak. Tangan terikat. Mulut tersumpal kain kotor. Gayatri menghambur.

“Siapa yang melakukan ini padamu?” Gayatri berlutut melepaskan sumpal, kemudian berusaha melepaskan ikatan.

Rina hanya menggeleng, air mata mengalir di pipinya. “Dia akan datang lagi,” bisiknya serak. “Cepat, cepat kita pergi dari sini.”

Tiba-tiba, terdengar derap langkah mendekat. Pintu gudang terbuka lebar. Seorang pria tinggi berdiri di ambang pintu, wajahnya tersembunyi dalam bayangan.

“Siapa kau!” Gayatri berteriak, mencoba menyembunyikan ketakutannya.

Pria itu tertawa. Dingin. Menakutkan. “Kau pikir bisa melawanku, Gayatri?”

Gayatri menyambar sebatang kayu. “Mendekat dan aku tidak akan segan-segan.”

“Kau benar-benar tidak tahu aku?” Pria itu melangkah maju.

“Apa yang kau inginkan?” Gayatri mundur, melindungi Rina. Yang didekati sudah berdiri, dan memegang baju kakaknya. Mereka berdua berada di antara pintu belakang dan pria itu. Otak Gayatri menghitung.

“Dia adalah penghubung,” jawab pria itu, menatap Rina. “Dan aku akan membawanya kembali ke tempatnya. Dia dibutuhkan.”

Gayatri tidak memahami perkataan pria itu. Tapi meski sesaat dia melihat kesempatan pria itu lengah. Gayatri mengayunkan kayu. Tepat mengena. Cukup keras. Pria itu jatuh bergulingan.

“Kak, ayo,” bisik Rina parau. Gayatri berlari menuju ke pintu belakang. Syukurlah bisa terbuka. Rina berlari di belakangnya, tangannya masih terikat. Mereka berlarian di tanah kering kebun belakang itu.

Seingat Gayatri arah itu akan menuju tepi hutan. Tapi setelahnya, ada rumah penduduk desa sebelah. Di sana ada harapan. Mereka berlari berserabutan, meninggalkan gudang tua itu. Di kejauhan, tawa dingin itu terasa masih menggema.

Siapa pria itu? Apa yang dia inginkan dari Rina? Dan mengapa Gayatri merasa bahwa ini baru permulaan dari sesuatu yang jauh lebih besar? Satu hal sudah pasti, wajah yang sekilas tampak itu sangat dikenalinya. Ayah?

Tidak mungkin. Belati yang ditusukkan ibunya jelas tembus dari belakang sampai ke dada. Ingatan itu tidak pernah pudar. Jadi siapa?

[notokuworo.]

Catatan:

Ini latihan menggunakan cold open.

Leave a comment