Ratih

Photo by Karolina Grabowska on Pexels.com

“Martabak? Terang bulan?” sahut Ratih sekenanya, sambil mengendurkan headphone yang menutup telinga kirinya. Mukanya tampak lucu menatap lawan bicaranya yang malah berubah merah.

“Martabak? Martabat! Mar-ta-BAT, tujuh huruf! Bahasa Inggris,” gemas, Dani berseru. Dia tahu konyol sekali menanyakan jawaban TTS di hadapannya kepada Ratih. Ia sendiri sudah punya jawaban, sambil hati-hati mengisikan dignity ke dalam kotak-kotak mendatar di koran itu.

“Apa sih?” Ratih membuka seluruh headphone-nya.

“Martabat, sudah ketemu, dignity,” tandas Dani lagi.

“Oh,” akhirnya paham, “eh, tapi kok dignity, martabat itu lebih dekat ke prestige daripada dignity, kalau dignity mah harga diri.”

Dani menatap Ratih sejenak, lalu menghela napas panjang. “Ya, kamu benar. Tapi kadang dalam TTS itu, pilihannya nggak selalu yang paling tepat, prestige itu 8 huruf,” katanya sambil melipat korannya. “Memangnya nggak boleh diartikan harga diri?”

Ratih tersenyum tipis. “Nggak tahu, cuma tiba-tiba kepikiran aja. Kan sesuai, tuh. Serasa kalau martabat tuh ada pride-nya.”

Dani mengangguk mengiyakan, sambil mengamati Ratih yang kembali memutar musik dari headphone-nya. Dia teringat perbincangan mereka beberapa hari yang lalu, ketika mereka berdebat tentang hal-hal kecil seperti ini. Namun, ada sesuatu dalam cara Ratih berbicara yang membuat Dani merenungkan lebih dalam.

Pikirannya teralihkan, ia menatap ke luar jendela, melihat anak-anak bermain di halaman depan. Terdengar tawa riang mereka, seakan dunia hanya dipenuhi oleh kebahagiaan sederhana. Dani memikirkan tentang martabat dalam konteks kehidupannya sendiri, dalam tindakan sehari-hari, bagaimana ia berinteraksi dengan orang lain, dan keputusan yang ia buat.

Ratih melepas headphone-nya lagi, kali ini menatap Dani dengan tatapan penasaran. “Kok jadi melamun, lagi mikir apa, Dan?”

Dani tersenyum, mengangkat bahu. “Nggak ada apa-apa. Cuma mikir aja, betapa kata-kata bisa punya banyak makna. Martabat, dignity, prestige… semuanya punya rasa yang beda.”

Ratih tertawa kecil. “Iya, benar. Tapi itu hanya permainan kata, kan?”

Dani mengangguk. “Ya, yang penting dalam kesehariannya. Kadang yang kita anggap penting cuma soal perspektif.”

Mereka berdua kembali hening, menikmati momen tenang bersama. Di luar, suara anak-anak semakin ramai, membawa Dani kembali ke masa kecilnya, ketika semuanya lebih sederhana dan tak ada yang perlu dipikirkan selain bermain dan belajar.

“Aku ingat waktu kecil,” Dani mulai berbicara lagi, “bermain seperti mereka di sana itu, di halaman yang sama. Dalam permainan selalu ada yang ingin jadi pahlawan, sepertinya itu sesuai dengan kata yang tadi itu. Pahlawan yang bermartabat dan dihormati.”

Ratih tersenyum mendengar cerita Dani. “Dan sekarang? Apa yang kamu rasakan?”

Dani terdiam sejenak, lalu berkata, “Sekarang aku merasa, martabat itu bukan sesuatu yang diberikan oleh orang lain. Itu adalah sesuatu yang kita bangun sendiri, melalui tindakan kita dan bagaimana kita menjalani hidup. Orang lain lebih hanya ‘memandang’,” sambil tangannya memberi tanda kutip.

Ratih mengangguk pelan, mengerti tanpa perlu kata-kata lebih lanjut. Mereka duduk dalam diam, menikmati kebersamaan dan pemahaman tanpa perlu penjelasan panjang lebar. Di dalam keheningan itu, ada pengakuan bahwa mereka sedang menemukan makna yang mereka sepakati sendiri, tanpa perlu mengatakannya secara eksplisit.

“Pesan martabak yuk. Lapar.”

[notokuworo.]

2 thoughts on “Ratih

Leave a comment