Selubung

Photo by Monstera Production on Pexels.com

“Paman, minta maaf, Nak,” Hando menjelaskan dengan suara yang terdengar serak. “Ini atas permintaan ibumu.” Suasana di ruangan itu jelas sangat tidak nyaman. Seolah-olah bayangan kesedihan dan kehilangan melingkupi setiap sudut. Paman Hando, adik ibu yang paling kecil, berdiri dengan canggung di hadapan keponakannya. Semua keluarga dari pihak ibu sudah tiada, tertinggalah Paman Hando sebagai satu-satunya penjaga rahasia ini.

Wasna, Ruba, dan Kuni melihatnya gelisah. Kuni bahkan terlihat seperti orang yang ingin kencing sejak tadi. Mereka sudah merelakan ibu mereka yang dikuburkan minggu lalu. Ruba yang baru kembali bekerja di kantornya, tampak terganggu dipanggil lagi untuk urusan yang tidak bisa dibicarakan lewat telepon.

“Aku harus menjelaskan pada kalian apa yang terjadi.” Hando menerawang, menatap kipas angin yang berputar di atas kepala mereka. Sesuatu yang berat terasa di pundaknya. “Ayahmu, Rahmadi, dia belum mati.” Ada sekilat cahaya benci di mata Hando.

Ketiga anak yang sudah mulai berusia dewasa itu serempak menatap paman mereka dengan penuh keterkejutan dan ketidakpercayaan. “Rahmadi ada di penjara, tetapi tidak di sini,” lanjut Hando.

“Jauh sebelum Wasna lahir, Rahmadi sudah pergi merantau dan hanya pulang sesekali.” Hando menghela napas, tampak berat baginya untuk menjelaskan ini.

“Kami mulanya tidak tahu apa pekerjaannya. Dia hanya pulang dan membuat ibumu hamil, lalu pergi lagi. Hampir setiap tahun Darmi melahirkan,” terangnya. Tampak sekali Hando membenci Rahmadi. “Dia selalu mengirimi ibumu uang. Tidak pernah terlambat. Bahkan banyak, kami sekeluarga merasa dihidupi.”

“Uang itu didapatnya karena menjadi penyamun. Kami baru tahu kemudian. Dia ditangkap setelah membunuh orang. Dipenjara.” Jelas Hando lebih lanjut. “Ibumu tidak pernah bisa menjelaskan ini kepada kalian.”

Hando menerawang, “umur Wasna waktu itu baru 6 tahun. Kami semua sepakat menyampaikan kalau Rahmadi meninggal.”

“Tahun 2009 dia pernah keluar penjara, tetapi tidak pernah pulang. Kami dengar dia membunuh lagi dan ditangkap lagi.”

Wasna berusaha mencerna informasi mengejutkan ini. Mereka punya Ayah? Seorang pembunuh? Wasna merasa agak kecewa. Harapan masa kecilnya membayangkan berbagai bentuk pahlawan. Kini di umur hampir empat puluh tahun, kenapa ini yang dia terima?

Ruba menatap lantai dengan ekspresi kosong, masih memikirkan harus bagaimana. Tampaknya Ruba lah yang paling kecewa. Dia merasa Paman Hando dan almarhum Ibu bersekongkol. Kenapa harus tahu sekarang. Kenapa tidak dari dulu.

Kuni lain lagi, ia tadi gelisah, kini masalah ini membuatnya mulai memahami. Dari mereka bertiga Kuni adalah yang paling lama bersekolah. Nalarnya mulai menuntunnya.

“Jadi selama ini, kami hidup dengan uang dari hasil kejahatan?” tanya Ruba dengan suara bergetar.

Hando menjawab sambil menggeleng. “Ya, ibumu tidak punya pilihan. Dia juga sempat bekerja. Bagaimana pun, Darmi hidup sendiri dan ia ingin semua hidup dengan baik.”

Kuni akhirnya angkat bicara, suaranya parau bertanya. “Mengapa kita baru tahu sekarang, Paman?”

Hando menunduk, menatap tangannya yang gemetar. “Waktu itu, kami pikir ini yang terbaik. Sekarang kalian sudah dewasa, dan kalian berhak tahu kebenarannya.”

Wasna hanya menitikkan air mata. Meskipun dia yang paling tua, dia perempuan. Tidak mudah baginya segera waras dari keterkejutan ini. Alih-alih, dia berusaha mengingat. Namun apa yang tersisa di ingatannya tidak cukup membentuk figur ayah. Dia hanya tahu ibunya pernah punya foto seorang laki-laki. Foto itu sudah lama tak dilihatnya.

Ruba, yang dari tadi merasakan kepalanya berdenyut, mulai terlihat marah. “Jadi, kita hidup dalam kebohongan selama ini? Mengapa tidak ada yang memberitahu kami sejak dulu?” suaranya penuh dengan kekecewaan dan amarah. “Kami berhak tahu! Kami sudah lama bukan anak-anak lagi, Paman!”

Kuni tiba-tiba bersuara menegur. “Ruba, berpikirlah. Tidak ada gunanya marah sekarang. Paman Hando dan ibu kita hanya mencoba melindungi kita. Mereka tidak ingin kita tumbuh dengan beban berat. Pahami alasan mereka.”

Ruba menatap Kuni, keningnya berkerut, kemarahannya belum benar pudar. Namun, Ruba selalu mendengarkan Kuni. “Aku hanya… aku hanya merasa kita berhak tahu lebih cepat.”

“Maafkan aku, Paman.” Ruba menambahkan.

“Di manakah Ayah sekarang?” Wasna akhirnya bicara. Adik-adiknya menengok serempak. Hando hanya menggeleng. Dia menyebutkan nama Lapas di Jawa Tengah. Dia menambahkan kurang yakin apakah Rahmadi masih hidup di sana atau sudah bebas.

Hando menatap ketiga keponakannya dengan rasa bersalah yang mendalam. “Kalian ada benarnya, kami, orang tua yang mestinya minta maaf. Mungkin kami salah melindungi kalian seperti itu. Hanya saja, aku tidak bisa mengingkari janjiku pada Darmi,” Hando menyampaikan di mana Rahmadi terakhir kali diketahui berada.

Wasna menghapus air matanya dan mengangguk pelan. “Kita tidak bisa mengubah masa lalu.”

Mereka tercenung, dan mereka masih bersama hingga hampir tengah malam. Perubahan ini sangat mengagetkan. Banyak pertanyaan menggelantung. Banyak soal yang mereka kira sudah terkubur, kini perlahan mulai bergerak keluar.

Leave a comment