Tag: 30DWC46

Rencana Tulisan Bertema

Photo by Karolina Kaboompics on Pexels.com

Untuk tiga hari ke depan di hari ke-27, 28 dan 29, peserta (baca: fighters) 30DWC diharapkan menyusun tulisan yang temanya ditentukan. Kali ini tema besarnya adalah tentang Pencarian Makna Hidup. Saya akan menulis dalam bentuk tiga cerita pendek, yang sesuai dengan penugasan akan ada dalam tiga subtema: Rahasia, Cari, dan Temu. Tulisan ini dimaksudkan mengumpulkan kemampuan yang akan digunakan dan rencana penulisan.

Cerita Pendek

Untuk menulis cerita pendek, penting memiliki pemahaman yang mendalam tentang setiap tahap proses kreatif yang akan dilakukan disini. Bagian ini terdiri dari tiga bagian: Konseptualisasi, Menulis Draf, dan Mengedit. Masing-masing bagian memberikan diperlukan untuk menghasilkan cerita pendek.

Bagian 1: Konseptualisasi

Bagian pertama dari panduan ini berfokus pada konsep dasar dan persiapan sebelum mulai menulis. Konseptualisasi melibatkan pemahaman tentang panjang cerita pendek yang ideal, tujuan utama dari cerita yang akan ditulis, serta perbedaan mendasar antara cerita pendek dan novel. Penulis diajak untuk memulai dengan ide yang kuat, baik itu dari karakter, situasi, atau tema tertentu. Selain itu, berbagai teknik untuk mengembangkan ide cerita, seperti brainstorming dan pengembangan plot, juga membantu penulis menemukan titik awal yang tepat.

Bagian 2: Menulis Draf Cerita Pendek

Setelah memiliki konsep yang jelas, bagian kedua mengajak penulis untuk mulai menulis draf cerita pendek. Dalam bagian ini, berbagai metode menulis draf diperkenalkan, seperti metode Outline (Kerangka), Flashlight (Senter), Line-by-Line (Baris per Baris), Free Writing (Menulis Bebas), dan End Point (Titik Akhir). Setiap metode memiliki pendekatan dan keunikan tersendiri yang dapat disesuaikan dengan gaya dan preferensi penulis. Bagian ini memberikan langkah-langkah praktis dan strategi untuk mengembangkan cerita dari awal hingga akhir, memastikan setiap adegan dan karakter berkontribusi pada alur cerita yang koheren dan menarik.

Bagian 3: Mengedit Cerita Pendek

Bagian terakhir dari panduan ini membahas pentingnya proses pengeditan dalam menyempurnakan cerita pendek. Pengeditan adalah tahap krusial di mana cerita benar-benar terbentuk dan mencapai potensinya. Bagian ini mencakup pertanyaan panduan untuk mengidentifikasi elemen-elemen penting yang perlu diperbaiki, langkah-langkah pengeditan yang sistematis, serta tips akhir untuk memastikan cerita yang dihasilkan padat, efisien, dan berdampak. Penulis diajak untuk memotong elemen-elemen yang tidak relevan, menambahkan detail yang hilang, dan memperkuat narasi melalui pemilihan kata dan konstruksi kalimat yang tepat.

Dengan memahami dan menerapkan setiap bagian dari panduan ini, penulis akan mampu menciptakan cerita pendek yang tidak hanya menarik bagi pembaca, tetapi juga memuaskan secara kreatif. Panduan ini dirancang untuk membantu penulis di setiap tahap proses, dari ide awal hingga draf akhir yang dipoles, sehingga setiap cerita yang dihasilkan dapat mencapai potensi penuhnya.

Pembagian Cerita

Bagian 1: Rahasia
Bagian pertama akan berfokus pada pengenalan tokoh utama yang sedang dalam pelarian. Di tengah usahanya untuk menghindari pengejaran, ia menemukan sebuah rahasia. Rahasia ini menjadi titik awal, nantinya akan diceritakan di bagian kedua.

Saya belum tahu dia lari dari apa atau siapa. Saya juga belum memikirikan rahasia apa yang akan muncul dalam pelarian tersebut. Saya belum merancang tempat tapi nampaknya lebih bernuansa desa, meskipun saya juga memikirkan area perkotaan yang suram. Plotnya dibuat seperti apa juga belum ada bayangan.

Bagian 2: Cari
Bagian kedua saya rasa akan mengisahkan perjalanan tokoh utama dalam mencari jawaban atas rahasia yang telah ditemukan. Dia sudah tahu rahasianya di awal, tapi proses pencarian ini penuh dengan tantangan dan bahaya, kalau memungkinkan. Atau dari emosi si tokoh sajakah. Tapi karena belum ada bagaimananya yang penting di bagian ini adalah pencarian.

Karakter baru ? Seharusnya begitu agar bisa berkesempatan ada dialog masuk di dalamnya. Demikian juga memberikan petunjuk-petunjuk penting, di bagian ini akan sangat diperlukan. Rencananya karena konflik lebih mungkin ada disini saya akan buka daftar konflik dan mencoba memasukkan salah satunya pada bagian ini.

Bagian 3: Temu
Bagian terakhir akan mencapai klimaks dengan tokoh utama menemukan kebenaran atau jawaban yang dicarinya. Penemuan ini akan memberikan resolusi pada konflik yang ada. Tapi bagaimana membawa pemahaman baru tentang makna hidup belum terbayangkan. Sepertinya untuk 2250 kata maksimal pasti belum cukup untuk menuntaskan cerita. Bisa jadi nanti menggantung akhirnya.

Melalui tiga bagian ini, cerita bergenre misteri, sekaligus dicoba untuk merenungkan makna hidup melalui pengalaman tokoh utama.

Bismillah.

Amara

Photo by Valentin Antonucci on Pexels.com

Lampu ruangan itu terang seperti biasa. Apa yang akan datang ini rasanya sudah bisa diterkanya. Alif meringis sambil melihat ke jam tangannya sekali lagi.

Amara dalam jaket coklat dan kaus hitam, penampilan yang dihapal oleh Alif sejak mereka pertama bertemu. Tapi khusus seragam kebangsaan ini, adalah yang hanya dipakainya pada saat-saat tertentu. Ya, Alif sudah hapal betul.

Amara nampak menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Dia tidak malu meski hanya menggunakan jaket coklat, celana jeans, dan badannya masih sakit. Baginya, malam ini sangat penting. Dia harus bertemu Alif.

“Kamu tahu betapa pentingnya malam ini, kan?” kata Amara, meski tertawa tapi dia juga terisak seakan meminta dimaklumi. Pastinya, Amara merasa harus keluar dengan dandanan rutinnya, dan meminta Alif untuk menemaninya.

Alif duduk tegak, berpikir bahwa mungkin malam ini memang betulan penting.

“Jaket itu cuma kau pakai dua tahun lalu. Kita duduk disini dua tahun lalu. Sekarang kita merayakan apa? Kamu bukannya sedang sakit? Aku sekarang juga agak meriang.” tanya Alif sekalian memberi informasi. Berharap.

“Aku selesai,” kata-katanya seolah lepas. “Ya, Aku sudah … tamat.”

“Kenapa?” Alif bertanya, matanya tak lepas dari gadis itu, dan Amara sudah siap. Hanya untuk kata tanya itulah Amara mengenakan dandanan wajibnya.

“Selesai! Semua sudah selesai. Dua tahun sudah cukup. Aku berhenti menunggu. Berhenti berharap. Jahanam!” Amara melampiaskan kepada Arief.

Bulu kuduk Alif meremang, hawa demam melonjak. Pendingin ruangan terlalu sejuk, musik yang mengalun semakin menambah intensitas. Amara terlihat sangat cantik saat menyuarakan ikrar kebebasannya. Alif merinding lagi, keringat dingin menyembul di tepi keningnya.

Alif tahu apa yang akan terjadi berikutnya. Pertama, akan ada jeda kosong sekurang-kurangnya dua sampai tiga menit, di mana Alif akan melipat tangan di dada sambil mendiamkan sabar, dan memandang kosong ke jendela. Dari sanalah berbagai kenangan siap dicurahkan keluar dari bibir Amara. Mulutnya, matanya dipenuhi oleh laki-laki itu, dan tak lama lagi Amara akan terlapisi lingkaran yang tidak bisa ditembus. Alif pernah tahu itu.

Cerita Amara sering berganti selama sepuluh tahun terakhir. Sejak mereka sama menjadi bahan plonco kakak-kakak kelas. Itu pula yang menandai awal pengulangan cerita ini.

Saat itulah dia resmi tergila-gila pada lelaki itu. Bahagia dan nelangsa sudah sulit ditarik garis batasnya sedekade ini. Namun lingkaran itu selalu ada. Kadang membuat Alif ingin gila.

“Aku sadar waktu aku sakit kemarin,” Amara mulai bertutur setelah sembilan puluh detik menatap jendela. “Aku bangun dan sangat lemas, pikirku aku mulai dehidrasi dan aku cuma ingin ambil minum. Tidak ada siapa-siapa yang bisa kumintai tolong…”

Alif merapatkan jaketnya. Sensasi meriang itu datang lagi.

“Malam itu aku merasa sangat terpuruk. Aku benar-benar lelah. Dan kamu tahu? Aku tidak memerlukan dia. Yang aku butuhkan hanyalah ada seseorang yang menyayangiku dan segelas air.”

Kepala Amara menunduk, matanya terkatup, menahan tangis. Resmi sudah, malam panjang ini dimulai.

“Tapi, ini … ” menunjuk airmatanya yang jatuh di pipi ” ini yang terakhir kali …” kata Amara tersendat, antara tangis dan tawa. Berusaha tampil kuat di hadapan Alif.

Alif mengelus punggung tangan Amara. Sebentar kemudian tibalah saatnya Amara tersedu sedan.

“Aku ingin orang yang menemaniku tidak secuek dia, tapi orang yang mau menemaniku” Susah payah Amara melanjutkan.

Dalam ingatannya Alif memutar sebuah film pendek yang berulang. Dia ditelpon, dia datang, mengobati, kadang membawa ke UGD, kadang tidur di lantai, atau sofa di depan kamar itu. Juga beberapa kali datang dalam keadaan basah kuyup. Seperti yang terjadi kemaren malam. Sering bila Alif harus menggantikan infus dia melihat lebih banyak dari yang seharusnya. Tapi pada saat seperti itu tidak ada hasrat lain selain memberikan pertolongan. Sudah berulang juga bagaimana dirinya juga akhirnya ikut sakit.

Tapi alih-alih memperhatikan diri, Alif lebih memanfaatkan waktu mendengarkan nafas halus Amara. Lagi-lagi seperti kemarin malam. Melihatnya dalam damai. Setelah semua yang dimintanya tersedia.

“Ngga berlebihan .. kan?” Amara memandangnya.

Seperti biasa, Amara hanya butuh gelengan kepala Alif. “Apa yang akan kau lakukan sekarang?”

“Aku akan menghindar.” Tandasnya.

“Menghindar bagaimana?” Tanya Alif.

“Aku akan berhenti untuk memujanya. Aku ingin lelakiku adalah yang benar-benar datang pada saat aku butuh. Pada saat-saat aku sakit. Pada saat aku tidak bisa mengurus diriku sendiri. Aku bosan berusaha terus.” Jawabnya.

“Aku yakin ada yang lebih baik darinya.” Amara mendongak. “Aku yakin ada yang mau merawatku bila aku sakit. Menenangkan bila aku gundah.” Dia masih melanjutkan.

“Aku ingin menanti yang tidak berlebihan. Aku ingin menunggu untuk orang itu ada. Aku yakin ada.” Amara akhirnya melihat lipatan tangan Alif dan jaket yang menyelubunginya.

“Kenapa? Sakit?”

Ngga, cuma merasa lelah sekali. Kau melihat kemana, Amara?

Anggi

Photo by Liza Summer on Pexels.com

Sudah seminggu ini, Geo tidak menyapanya. Pertengkaran merekapun sepertinya sepele dan bahkan saat ini dia sudah lupa apa asal muasalnya. Dia tahu berdamai dengan Geo selalu saja jadi perkara yang sulit. Geo selalu terasa kaku bila sudah urusan seperti ini. Bagi Anggi, meskipun Geo sering terasa mengesalkan bila merajuk, ia adalah pria yang komplit. Dia juga penyayang. Dia juga pria yang cerdas. Kualitas yang selalu dibanggakan Anggi.

Anggi memandang ke luar jendela dapur mereka. Matahari sore menyinari taman kecil di halaman belakang, menciptakan bayangan yang bergerak pelan seiring dengan hembusan angin. Dedauan dan bunga-bunga tampak berayun menari seiring, seakan menyindirkan sebuah ritme yang damai. Di sore seperti ini, seharusnya Geo ada di antara bunga-bunga itu dengan topi jeraminya. Ironis, pikir Anggi, betapa pemandangan ini begitu tenang sementara hatinya berkecamuk.

Anggi teringat percakapan mereka beberapa waktu lalu, tentang hal-hal sepele yang kadang bisa menjadi besar. Betapa sering mereka membahas hal-hal kecil, yang tak seharusnya menjadi sumber pertengkaran. Geo yang dia kenal seringkali, akan membahas hal-hal detil itu. Terus begitu sampai mereka terdiam. Apakah itu hanya soal ego? Hatinya bertanya-tanya. Mungkinkah dalam setiap konflik, ada bagian dari dirinya yang terlalu keras kepala untuk mengalah?

Dia menatap cangkir kopi Geo yang tertinggal di meja dapur. Entah kemana sekarang ia. Anggi merasa rumah ini hanyalah halte bagi Geo. Seolah dia hanya perlu mampir sejenak kemudian pergi lagi. Di awal pernikahan mereka, berbincang ringan tentang mimpi-mimpi yang ingin mereka capai bersama hampir setiap mereka bisa bersantai menikmati sore. Keheningan kali ini terasa lebih berat, seakan ada beban yang menekan dadanya.

Langkahnya pelan saat meninggalkan dapur. Cangkir kopi Geo diisinya lagi dengan kopi hitam kesukaan suaminya. Aroma kopi yang mengisi rongga hidungnya, membangkitkan perasaan tenang dan rindu yang pernah mereka bagi. Dia tersenyum, sebuah senyum yang penuh dengan harapan. Anggi duduk di ruang tamu dekat jendela. Kali ini dia bertekad menunggu Geo tiba. Kali ini dia harus benar-benar berdamai dengannya.

Anggi duduk perlahan di ruang tamu dan memandang ke luar jendela. Matahari sore ini hampir tenggelam, cahayanya menciptakan bayangan panjang di beranda. Dedauan dan bunga-bunga tidak lagi berayun menari. Kopi dalam cangkir milik Geo yang dibawanya tadi masih menguarkan aroma kesukaan suaminya. Sentuhan lembut di tangan Anggi membuatnya menengok.

“Nek, ayo .. Tita antar Nenek ke kamar.” Tita dengan lembut mengambil cangkir kopi dari tangan Anggi, lalu membantu neneknya berdiri. Anggi menatap gadis muda di hadapannya dengan kebingungan sesaat, sebelum seulas senyum merekah di wajahnya yang keriput. Anggi menurut. Tita meraih tongkat Anggi yang tersandar di samping kursi, sebuah benda yang tak pernah jauh dari jangkauan neneknya, sejak delapan tahun lalu, saat Kakek meninggal dunia. Ritual kopi sore yang tidak pernah diminum ini sudah Tita hapal betul.

Ratih

Photo by Karolina Grabowska on Pexels.com

“Martabak? Terang bulan?” sahut Ratih sekenanya, sambil mengendurkan headphone yang menutup telinga kirinya. Mukanya tampak lucu menatap lawan bicaranya yang malah berubah merah.

“Martabak? Martabat! Mar-ta-BAT, tujuh huruf! Bahasa Inggris,” gemas, Dani berseru. Dia tahu konyol sekali menanyakan jawaban TTS di hadapannya kepada Ratih. Ia sendiri sudah punya jawaban, sambil hati-hati mengisikan dignity ke dalam kotak-kotak mendatar di koran itu.

“Apa sih?” Ratih membuka seluruh headphone-nya.

“Martabat, sudah ketemu, dignity,” tandas Dani lagi.

“Oh,” akhirnya paham, “eh, tapi kok dignity, martabat itu lebih dekat ke prestige daripada dignity, kalau dignity mah harga diri.”

Dani menatap Ratih sejenak, lalu menghela napas panjang. “Ya, kamu benar. Tapi kadang dalam TTS itu, pilihannya nggak selalu yang paling tepat, prestige itu 8 huruf,” katanya sambil melipat korannya. “Memangnya nggak boleh diartikan harga diri?”

Ratih tersenyum tipis. “Nggak tahu, cuma tiba-tiba kepikiran aja. Kan sesuai, tuh. Serasa kalau martabat tuh ada pride-nya.”

Dani mengangguk mengiyakan, sambil mengamati Ratih yang kembali memutar musik dari headphone-nya. Dia teringat perbincangan mereka beberapa hari yang lalu, ketika mereka berdebat tentang hal-hal kecil seperti ini. Namun, ada sesuatu dalam cara Ratih berbicara yang membuat Dani merenungkan lebih dalam.

Pikirannya teralihkan, ia menatap ke luar jendela, melihat anak-anak bermain di halaman depan. Terdengar tawa riang mereka, seakan dunia hanya dipenuhi oleh kebahagiaan sederhana. Dani memikirkan tentang martabat dalam konteks kehidupannya sendiri, dalam tindakan sehari-hari, bagaimana ia berinteraksi dengan orang lain, dan keputusan yang ia buat.

Ratih melepas headphone-nya lagi, kali ini menatap Dani dengan tatapan penasaran. “Kok jadi melamun, lagi mikir apa, Dan?”

Dani tersenyum, mengangkat bahu. “Nggak ada apa-apa. Cuma mikir aja, betapa kata-kata bisa punya banyak makna. Martabat, dignity, prestige… semuanya punya rasa yang beda.”

Ratih tertawa kecil. “Iya, benar. Tapi itu hanya permainan kata, kan?”

Dani mengangguk. “Ya, yang penting dalam kesehariannya. Kadang yang kita anggap penting cuma soal perspektif.”

Mereka berdua kembali hening, menikmati momen tenang bersama. Di luar, suara anak-anak semakin ramai, membawa Dani kembali ke masa kecilnya, ketika semuanya lebih sederhana dan tak ada yang perlu dipikirkan selain bermain dan belajar.

“Aku ingat waktu kecil,” Dani mulai berbicara lagi, “bermain seperti mereka di sana itu, di halaman yang sama. Dalam permainan selalu ada yang ingin jadi pahlawan, sepertinya itu sesuai dengan kata yang tadi itu. Pahlawan yang bermartabat dan dihormati.”

Ratih tersenyum mendengar cerita Dani. “Dan sekarang? Apa yang kamu rasakan?”

Dani terdiam sejenak, lalu berkata, “Sekarang aku merasa, martabat itu bukan sesuatu yang diberikan oleh orang lain. Itu adalah sesuatu yang kita bangun sendiri, melalui tindakan kita dan bagaimana kita menjalani hidup. Orang lain lebih hanya ‘memandang’,” sambil tangannya memberi tanda kutip.

Ratih mengangguk pelan, mengerti tanpa perlu kata-kata lebih lanjut. Mereka duduk dalam diam, menikmati kebersamaan dan pemahaman tanpa perlu penjelasan panjang lebar. Di dalam keheningan itu, ada pengakuan bahwa mereka sedang menemukan makna yang mereka sepakati sendiri, tanpa perlu mengatakannya secara eksplisit.

“Pesan martabak yuk. Lapar.”

[notokuworo.]

Reverse Chronology

Photo by Philipp Aleev on Pexels.com

Teknik narasi reverse chronology, atau kronologi terbalik, adalah metode bercerita yang menyajikan peristiwa dari akhir menuju awal. Berbeda dengan narasi konvensional yang mengikuti urutan waktu linier, teknik ini membalik alur cerita, mengungkapkan kejadian-kejadian secara terbalik. Metode ini menawarkan perspektif yang unik dan dapat menciptakan ketegangan serta kejutan yang efektif dalam sebuah cerita.

Salah satu keuntungan utama dari teknik reverse chronology adalah kemampuannya untuk menciptakan ketegangan dan kejutan. Karena pembaca mengetahui akhir cerita sejak awal, mereka tertarik untuk memahami bagaimana situasi tersebut bisa terjadi. Hal ini menumbuhkan rasa penasaran yang kuat, mendorong pembaca untuk terus membaca dan mencari jawaban. Selain itu, teknik ini memungkinkan penulis untuk mengeksplorasi tema-tema kompleks seperti sebab-akibat dan penyesalan dengan cara yang mendalam dan menarik.

Meskipun menawarkan banyak keuntungan, teknik ini juga memiliki tantangan tersendiri. Salah satu tantangan terbesar adalah menjaga kesinambungan dan konsistensi alur cerita. Penulis harus berhati-hati agar setiap bagian cerita tetap masuk akal ketika dibaca mundur. Selain itu, mengungkapkan informasi secara terbalik dapat membingungkan pembaca jika tidak dilakukan dengan hati-hati. Penulis harus memastikan bahwa setiap adegan dan detail terungkap secara jelas dan logis, meskipun dalam urutan yang tidak biasa.

Langkah-Langkah Menulis dengan Teknik Reverse Chronology

  1. Mulai dengan Akhir Cerita: Tentukan bagaimana cerita Anda berakhir. Akhir ini akan menjadi titik awal dalam narasi Anda.
  2. Susun Garis Waktu Terbalik: Buatlah garis waktu dari akhir menuju awal, mengidentifikasi peristiwa penting yang mengarah ke akhir cerita.
  3. Tuliskan Setiap Adegan: Tuliskan setiap adegan sesuai dengan urutan waktu terbalik. Pastikan setiap adegan mengungkapkan sedikit demi sedikit informasi yang relevan.
  4. Perhatikan Konsistensi: Pastikan setiap detail tetap konsisten dan logis dalam urutan terbalik.
  5. Buat Transisi yang Mulus: Buatlah transisi yang halus antara adegan-adegan, sehingga pembaca dapat mengikuti alur cerita dengan mudah.

Salah satu contoh terkenal yang menggunakan teknik ini adalah film “Memento” karya Christopher Nolan. Film ini mengisahkan perjuangan seorang pria dengan kehilangan ingatan jangka pendek, yang berusaha memecahkan misteri pembunuhan istrinya. Cerita diungkapkan secara terbalik, dengan setiap adegan membawa penonton mundur ke kejadian sebelumnya, menciptakan pengalaman yang menegangkan dan penuh kejutan.

Teknik narasi reverse chronology adalah alat yang kuat dalam arsenal seorang penulis. Dengan menawarkan cara bercerita yang tidak biasa, teknik ini dapat menciptakan ketegangan, kejutan, dan pemahaman yang mendalam tentang tema-tema tertentu. Meskipun menantang, dengan perencanaan yang matang dan perhatian terhadap detail, teknik ini dapat menghasilkan cerita yang mengesankan dan tak terlupakan bagi pembaca.

Helena

Aku lama menatap layar di hadapanku. Terngiang petuah seorang sahabat, jangan cuma dipandangi! Tulis sesuatu! Sedikit enggan kubuka aplikasi percakapan yang baru saja dipasang update-nya sore tadi. Kata pengembangnya sudah bisa diajak bicara. Mumpung masih macet ide, pikirku, kenapa tidak menanyakan saja pada aplikasi ini. Versi terbaru ini diberi sandi Helena. Tadi sore waktu di-install aku hanya punya ide nama itu untuk memanggilnya.

Aku masih harus menyesuaikan beberapa pengaturan. Kemudian mengetikkan beberapa kata agar Helena punya konteks tentang pembicaraan yang akan dilakukan.

“Paham, kita mulai saja. Silakan ajukan pertanyaan pertama,” tiba-tiba terdengar suara seorang wanita yang tegas dan cukup keras, mengagetkan, karena aku tidak mengiranya.

“Hai, Helena. Saya ditugasi untuk membuat tulisan dengan tema pencarian makna hidup, saya perlu masukan. Menurut kamu, apa definisinya, bagaimana enaknya ya, menuangkannya dalam bentuk tulisan?” Aku memulai.

Helena menjelaskan bahwa makna hidup biasanya dikaitkan dengan tujuan, nilai dan alasan keberadaan seseorang. Itu bisa didapatkan dari refleksi pribadi, pengalaman yang pernah dilalui dan pemahaman spiritual. Ia menambahkan tentang bagaimana membuat tulisan tersebut, bisa dimulai dengan cerita pribadi, pengalaman orang lain, atau bahkan fiksi yang menggambarkan perjalanan.

“Nah, apakah ada yang ingin kamu sampaikan tentang pengalamanmu, atau cerita lain?” ia bertanya.

Gambaran yang disebutkannya cukup jelas. Bahkan seperti sudah memahami sudut pandang personal, aku memang memasukkan beberapa informasi pribadi pada saat Helena dipasang di komputer ini. Ia pasti sudah memindai pekerjaanku sebagai kepala puskesmas, hobiku dan preferensi lainnya yang kuisikan.

Aku merenung sejenak, mencoba merumuskan pemikiran-pemikiran yang berputar di kepalaku. “Helena, coba jelaskan bagian tujuan hidup.”

Suara Helena terdengar lebih lambat kali ini. “Menemukan tujuan dalam pencarian makna hidup berarti menemukan alasan mengapa kita ada. Kemudian apa yang ingin kita capai dalam hidup. Ini melibatkan pemahaman tentang apa yang membuat hidup kita berarti agar bisa memotivasi kita setiap hari.”

“Tujuan bisa berbeda-beda untuk setiap orang: bisa berupa karier, hubungan, kontribusi pada masyarakat, atau pengembangan diri. Intinya, tujuan adalah sesuatu yang memberi kita arah dan motivasi dalam menjalani kehidupan,” lanjutnya.

Aku berpikir sejenak sebelum menjawab, “Saya pernah baca ini, misal seperti ini ya. Saya ada karena Tuhan menitipkan saya melalui orangtua saya. Apa yang ingin saya capai dalam hidup adalah menjadi manusia yang bisa bermanfaat untuk orang lain. Apakah seperti itu?”

Helena merespons dengan suara yang terdengar penuh persetujuan, “Ya, itu adalah dasar yang sangat baik. Mengetahui bahwa keberadaanmu adalah titipan dari Tuhan dan ingin bermanfaat bagi orang lain adalah tujuan yang bermakna.”

“Kita bisa memperjelas dengan bertanya: Apa yang membuat saya merasa bahagia dan puas? Aktivitas atau kontribusi apa yang membuat saya merasa berguna? Bagaimana saya ingin dikenang oleh orang lain?”

Akupun mulai menjawab satu demi satu pertanyaannya. Kemudian Helena menimpali dengan memperjelas beberapa hal lagi. Kemudian dia merangkum jawabanku. Menurutnya, tujuan hidupku berfokus pada kontribusi positif dan ketekunan.

Aku merenung sejenak, kemudian bertanya, “hampir setiap hal dalam hidup adalah pilihan, maka termasuk dalam melakukan pencarian tujuan hidup pun, aktivitasnya tak luput dari pilihan-pilihan kan?”

Pikiranku menerawang mengingat bagaimana contoh-contoh yang diberikan Helena tentang pemenuhan kewajiban spiritual dan kepuasan menjalani hobi menulis misalnya, bolej jadi akan terbentur untuk diprioritaskan bila tiba-tiba hanya punya satu waktu yang sama. Lebih rumit lagi ada pilihan-pilihan lain yang juga selalu bermunculan pada saat yang sama.

Misalnya, pekerjaan rutin sebagai seorang aparatur sipil negara, yang rentang jam 07.00 sampai 14.00nya sudah membatasi tempat dan waktu. Begitu pula dengan waktu istirahat, memulihkan pikiran dan badan yang penat. Atau bahkan kebutuhan akan hiburan. Kebutuhan untuk memuaskan rasa ingin tahu. Itu semua adalah pilihan dalam menjalani prioritas-prioritas dalam memenuhi tujuan hidup tadi itu.

Aku menambahkan itu kepada Helena, pilihan itu menjadi bagian yang juga berpengaruh untuk menentukan pilihan. Dan ada persimpangan-persimpangan yang kemudian menjadi pembeda antara satu orang dengan orang lain.

Thinking indicator Helena berputaran beberapa saat, kemudian dia membenarkan, “Ya, benar sekali. Manusia memang kompleks. Semua yang kamu sebutkan barusan akan sangat mempengaruhi pencapaian dari tujuan-tujuan hidupmu.”

Ia kemudian menambahkan, “tampaknya bagi manusia, penting untuk mendapatkan keseimbangan yang tepat. serta membuat pilihan yang memungkinkan semua aspek tadi terakomodasi.”

Aku tersenyum, apakah dia sudah memiliki kesadaran sejauh itu. Mungkin ada sedikit kesempatan dimana Helena versi yang entah keberapa mampu membantu manusia untuk memperjelas pilihan-pilihan hidupnya. Entahlah.

Dan akupun mulai menuliskan pembicaraan kami.

[notokuworo.]

Musuh Tanpa Wujud

Photo by George Becker on Pexels.com

Kita paham bahwa konflik karakter vs. karakter adalah yang paling umum, banyak cerita menampilkan protagonis yang bertarung melawan kekuatan antagonis. Tapi ada juga karakter berhadapan dengan masyarakat atau teknologi, alam, supernatural, atau bahkan dirinya sendiri, musuh yang tidak selalu mengambil bentuk manusia.

Jo March melawan perubahan dan dewasa (Little Women); John Nash melawan skizofrenia (A Beautiful Mind); Oskar Schindler melawan Nazi (Schindler’s List). Jadi, bagaimana Anda menulis adegan di mana karakter melawan sesuatu tanpa wujud?

Solusinya adalah menyediakan antagonis fisik bagi pahlawan yang mewakili musuh tersebut. John Nash menghabiskan sebagian besar ceritanya bertarung secara mental dan verbal dengan Parcher, Charles, dan Marcee—kepribadian yang tidak bisa dilihat orang lain tetapi nyata baginya. Schindler tidak bisa melawan seluruh tentara Jerman, Amon Goeth menjadi wajah Nazi yang dia lawan.

Jika Anda menulis cerita dengan musuh tanpa wujud, maka memang perlu menunjuk seorang sekutu — bawahan atau orang lain yang mewakili gagasan musuh. Mereka menjadi orang yang akan dihadapi pahlawan. Karakter protagonis akan bentrok dengannya dan pada akhirnya mengalahkannya.

Hal yang sama juga berlaku dengan seri di mana pahlawan dan antagonis utama tidak akan bertarung sampai dengan jilid terakhir. Perkenalkan antagonis yang lebih rendah di setiap buku yang akan berfungsi sebagai sparring partner dan seseorang bagi pahlawan untuk dihadapi dalam klimaks. Harry Potter adalah contoh yang paling mudah. Meskipun bentuk lain dari Voldemort juga ‘mewujud’ dalam bentuk buku, belakang kepala seorang guru dan lainnya. Atau munculnya tokoh-tokoh seperti Snape yang seolah menjadi antagonis. Tapi wujud Voldemort yang sesungguhnya baru bertarung di jilid terakhir.

Pada akhirnya, kunci untuk menulis adegan di mana karakter melawan sesuatu yang tidak berwujud adalah dengan memberikan bentuk konkret melalui karakter lain atau rintangan fisik yang mencerminkan musuh abstrak tersebut. Ini memungkinkan konflik tetap menarik dan terasa nyata bagi pembaca atau penonton.

[notokuworo.]

Puzzle Plot

Photo by Wesley Davi on Pexels.com

Mengenal Teknik Narasi Puzzle Plot dalam Menulis Cerita

Puzzle Plot adalah teknik narasi yang menyusun cerita seperti potongan-potongan puzzle yang terpisah, yang kemudian disatukan kembali seiring berjalannya cerita. Teknik ini bertujuan untuk menciptakan rasa penasaran dan keterlibatan mendalam bagi pembaca, karena mereka harus mengumpulkan informasi sedikit demi sedikit untuk membentuk gambaran utuh dari cerita. Dalam Puzzle Plot, narasi tidak disampaikan secara linier, melainkan melalui potongan-potongan adegan, kilas balik, dan perspektif yang berbeda-beda.

Teknik narasi Puzzle Plot menekankan pada struktur cerita yang kompleks namun terorganisir dengan baik. Setiap potongan cerita, atau ‘puzzle piece’, dirancang untuk memberikan petunjuk yang membawa pembaca lebih dekat pada penyelesaian plot utama. Penggunaan elemen ini memungkinkan penulis untuk menyembunyikan detail penting dan mengungkapkannya secara perlahan, menciptakan ketegangan dan kejutan yang berkelanjutan.

Salah satu aspek penting dari Puzzle Plot adalah penggunaan karakter dan latar yang kuat. Setiap karakter biasanya memiliki peran khusus dalam mengungkap potongan-potongan puzzle, dan latar yang dipilih seringkali menyimpan petunjuk penting bagi perkembangan cerita. Penulis harus memastikan bahwa setiap adegan memiliki relevansi dan kontribusi terhadap plot utama, menghindari pengisian yang tidak diperlukan.

Langkah-Langkah Mengembangkan Puzzle Plot:

Rancang Kerangka Cerita Utama

  • Tentukan plot utama dan sub-plot yang akan membentuk kerangka cerita.
  • Identifikasi elemen-elemen kunci yang harus diungkap secara bertahap melalui potongan-potongan puzzle.

Buat Karakter dan Latar yang Berhubungan:

  • Kembangkan karakter yang memiliki koneksi satu sama lain dan terhadap plot utama.
  • Pilih latar yang mendukung narasi dan menyimpan petunjuk-petunjuk tersembunyi.

Pisahkan Cerita Menjadi Potongan-Potongan:

  • Bagi cerita menjadi beberapa bagian yang masing-masing menyimpan informasi penting.
  • Pastikan setiap potongan memiliki narasi yang kuat dan memberikan kontribusi terhadap plot utama.

Susun Potongan-Potongan dengan Strategi:

  • Tentukan urutan pengungkapan setiap potongan sehingga membangun ketegangan dan rasa penasaran.
  • Gunakan kilas balik dan perubahan perspektif untuk memberikan konteks tambahan.

Integrasi dan Penyelesaian:

  • Susun kembali potongan-potongan cerita di akhir sehingga pembaca mendapatkan gambaran utuh.
  • Pastikan semua pertanyaan dan misteri yang dibangun di awal terjawab dengan memuaskan.

Contoh penggunaan teknik Puzzle Plot dapat ditemukan dalam berbagai genre, mulai dari misteri hingga fiksi ilmiah. Sebagai contoh, dalam cerita detektif, penulis mungkin menyembunyikan petunjuk-petunjuk kecil di sepanjang cerita yang baru terungkap maknanya di akhir. Begitu juga dalam fiksi ilmiah, di mana berbagai adegan dan karakter yang tampak tidak berhubungan awalnya akhirnya membentuk gambaran utuh tentang konflik atau solusi ilmiah yang kompleks.

Teknik narasi Puzzle Plot memerlukan perencanaan dan pemikiran yang mendalam. Penulis harus mampu menjaga keseimbangan antara memberikan cukup informasi untuk menjaga keterlibatan pembaca, dan menyembunyikan cukup banyak untuk menciptakan rasa misteri. Dengan menguasai teknik ini, penulis dapat menciptakan cerita yang menarik dan memuaskan, yang meninggalkan kesan mendalam bagi pembaca.

Penggunaan multiple perspectives juga memberikan fleksibilitas dalam struktur narasi. Penulis dapat memilih untuk menyajikan perspektif secara kronologis atau non-kronologis, bergantian antara karakter dalam urutan waktu yang tidak linear. Ini bisa digunakan untuk membangun ketegangan atau mengungkapkan plot twist yang mengejutkan.

Dalam karya-karya sastra terkenal, teknik multiple perspectives telah digunakan dengan sukses untuk menciptakan narasi yang mendalam dan kompleks. Novel seperti “As I Lay Dying” karya William Faulkner dan “Gone Girl” karya Gillian Flynn menggunakan sudut pandang ganda untuk membangun cerita yang kaya dan penuh lapisan.

Secara keseluruhan, multiple perspectives adalah teknik narasi yang powerful dan efektif untuk menciptakan cerita yang dinamis dan mendalam. Dengan perencanaan yang matang dan eksekusi yang konsisten, teknik ini dapat memberikan pengalaman membaca yang kaya dan memuaskan. Penulis yang menguasai teknik ini dapat membawa pembaca ke dalam dunia yang penuh dengan kompleksitas dan nuansa, menggambarkan peristiwa dan karakter dengan cara yang tidak bisa dicapai oleh narasi dengan satu perspektif saja.

Menang, tapi ..

Photo by rebcenter moscow on Pexels.com

Selalu menarik melihat cerita di mana karakter mengalahkan musuhnya tetapi gagal mendapatkan apa yang dia inginkan. Klimaks yang pahit ini memberikan kerumitan bagi pembaca saat mereka mengalami berbagai emosi dan harus merenungkan peristiwa yang dialami oleh pahlawannya.

Tetapi bagaimana ini bisa terjadi? Apa artinya jika pahlawan mengalahkan antagonis tetapi tidak mencapai tujuannya selama adegan klimaks? Sebagian besar waktu, ini berarti bahwa tujuannya adalah tujuan palsu, dengan karakter menyadari bahwa tujuan mereka bukanlah apa yang sebenarnya mereka butuhkan atau inginkan.

Tujuan palsu dalam sebuah cerita sering kali digunakan untuk menunjukkan perkembangan karakter dan memberikan kedalaman lebih pada narasi. Ketika pahlawan mengalahkan antagonis tetapi tidak mencapai tujuan yang mereka inginkan, hal ini bisa berarti bahwa apa yang mereka kejar selama ini bukanlah kebutuhan sejati mereka.

Kalau bisa ditelusuri mungkin beberapa hal ini adalah penyebab terjadinya,

Pahlawan mungkin mengejar tujuan yang salah karena kesalahpahaman atau pengaruh eksternal. Pada klimaks, setelah mengalahkan antagonis, pahlawan menyadari bahwa tujuan sejati mereka sebenarnya berbeda. Pandangan yang salah tentang apa yang akan membuat mereka bahagia atau memuaskan. Setelah mengalahkan antagonis, mereka menyadari bahwa pencapaian tujuan tersebut tidak memberikan kepuasan yang diharapkan. Ini bisa mengarah pada introspeksi dan pencarian makna yang lebih dalam.

Selama perjalanan cerita, karakternya berkembang. Tujuan awal mereka mungkin penting di awal cerita, tetapi seiring perkembangan, nilai-nilai dan prioritas mereka berubah. Kemenangan atas antagonis menjadi simbol kemenangan pribadi, tetapi tujuan asli mereka tidak lagi relevan atau diinginkan.

Atau yang beberapa hari ini kita bicarakan, konflik utama pahlawan mungkin bersifat internal. Meskipun mereka berhasil mengalahkan antagonis eksternal, masalah internal seperti rasa bersalah, ketakutan, atau trauma masih ada. Kemenangan eksternal tidak menyelesaikan konflik internal ini, dan pahlawan harus menghadapi dan menyelesaikannya sendiri.

Tujuan pahlawan adalah tujuan palsu dapat memperkuat tema cerita. Misalnya, sebuah cerita tentang ketamakan dan ambisi mungkin menunjukkan bahwa pencapaian material tidak akan membawa kebahagiaan sejati. Kemenangan atas antagonis menyoroti pelajaran ini, meskipun pahlawan tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan.

Dengan menggabungkan elemen-elemen ini, cerita bisa menjadi lebih kompleks dan memuaskan secara emosional bagi pembaca. Pembaca diajak untuk merenungkan makna dari kemenangan pahlawan dan belajar bahwa seringkali, perjalanan itu sendiri yang lebih penting daripada tujuan akhirnya.

[notokuworo]

Multiple Perspectives

Photo by Pavel Danilyuk on Pexels.com

Multiple Perspectives atau sudut pandang ganda adalah teknik narasi yang melibatkan berbagai sudut pandang karakter untuk menceritakan bagian-bagian cerita yang berbeda. Teknik ini sering digunakan dalam sastra untuk memberikan kedalaman dan kompleksitas pada cerita, memungkinkan pembaca melihat peristiwa dari berbagai perspektif. Dalam penggunaannya, multiple perspectives memungkinkan narasi yang kaya dan berlapis, memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang karakter, plot, dan tema cerita.

Salah satu kekuatan utama dari teknik ini adalah kemampuannya untuk membangun empati. Dengan menyajikan sudut pandang dari berbagai karakter, penulis dapat mengeksplorasi pemikiran, perasaan, dan motivasi yang berbeda. Hal ini memungkinkan pembaca untuk memahami dan merasakan konflik dan dilema yang dihadapi oleh setiap karakter. Empati yang dibangun melalui multiple perspectives membantu menciptakan ikatan emosional yang kuat antara pembaca dan karakter-karakter dalam cerita.

Teknik ini juga memungkinkan penulis untuk menyajikan informasi yang lebih luas dan mendalam. Dengan menggunakan berbagai perspektif, penulis dapat mengungkapkan latar belakang, konteks, dan detail yang mungkin tidak terlihat dari satu sudut pandang saja. Misalnya, dalam cerita detektif, sudut pandang korban, detektif, dan tersangka dapat memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang kejadian yang terjadi. Selain itu, teknik ini juga memungkinkan pengungkapan informasi secara bertahap, menciptakan ketegangan dan suspense yang lebih efektif.

Namun, penggunaan multiple perspectives membutuhkan perencanaan yang cermat dan konsistensi dalam penulisan. Berikut adalah beberapa langkah untuk menggunakan teknik ini secara efektif:

  1. Pilih Karakter dengan Bijak: Tentukan karakter-karakter yang sudut pandangnya akan digunakan. Pastikan setiap karakter memiliki peran yang signifikan dalam cerita dan perspektif mereka menambah kedalaman narasi.
  2. Tentukan Tujuan Setiap Perspektif: Tentukan apa yang ingin dicapai dari setiap perspektif. Apakah untuk mengungkap informasi baru, menambah kedalaman karakter, atau menciptakan suspense?
  3. Jaga Konsistensi Suara dan Gaya: Setiap karakter harus memiliki suara dan gaya narasi yang konsisten dan berbeda. Ini membantu pembaca mengenali dan membedakan perspektif setiap karakter.
  4. Gunakan Transisi yang Jelas: Pastikan setiap pergantian perspektif jelas dan tidak membingungkan pembaca. Ini bisa dilakukan dengan menggunakan bab atau sub-bab yang berbeda, atau tanda visual lainnya.
  5. Hindari Pengulangan Berlebihan: Meskipun penting untuk menunjukkan perspektif yang berbeda, hindari pengulangan informasi yang sama terlalu sering. Fokuslah pada informasi baru atau sudut pandang yang memberikan wawasan tambahan.
  6. Seimbangkan Perspektif: Usahakan memberikan porsi yang seimbang untuk setiap perspektif, kecuali jika ada alasan naratif yang kuat untuk memberikan lebih banyak fokus pada satu karakter tertentu.

Penggunaan multiple perspectives juga memberikan fleksibilitas dalam struktur narasi. Penulis dapat memilih untuk menyajikan perspektif secara kronologis atau non-kronologis, bergantian antara karakter dalam urutan waktu yang tidak linear. Ini bisa digunakan untuk membangun ketegangan atau mengungkapkan plot twist yang mengejutkan.

Dalam karya-karya sastra terkenal, teknik multiple perspectives telah digunakan dengan sukses untuk menciptakan narasi yang mendalam dan kompleks. Novel seperti “As I Lay Dying” karya William Faulkner dan “Gone Girl” karya Gillian Flynn menggunakan sudut pandang ganda untuk membangun cerita yang kaya dan penuh lapisan.

Secara keseluruhan, multiple perspectives adalah teknik narasi yang powerful dan efektif untuk menciptakan cerita yang dinamis dan mendalam. Dengan perencanaan yang matang dan eksekusi yang konsisten, teknik ini dapat memberikan pengalaman membaca yang kaya dan memuaskan. Penulis yang menguasai teknik ini dapat membawa pembaca ke dalam dunia yang penuh dengan kompleksitas dan nuansa, menggambarkan peristiwa dan karakter dengan cara yang tidak bisa dicapai oleh narasi dengan satu perspektif saja.