Tag: In Media Res

Fajar

Photo by Elle Hughes on Pexels.com

Fajar merunduk, napasnya memburu, reruntuhan air mancur batu itu memberinya sedikit sekali tempat untuk berlindung. Debu beton bercampur aroma mesiu menggantung pekat di udara, menyesakkan. Telinganya berdenging dan sakit, ledakan tadi hampir saja merenggut nyawanya.

“Fajar!”

Suara Reza terdengar bercampur kepanikan, samar bergabung dengan gaung. Fajar mengintip dari balik air mancur yang sudah tidak beraturan, matanya berusaha menembus tabir debu dan air. Bayangan gelap itu melesat di antara puing-puing bangunan di seberang jalan, berlindung di balik badan jalan. bus kota yang hangus.

“Berhenti di sana!” Fajar berteriak, suaranya parau. “Jangan mendekat! Disini tidak ada tempat berlindung.”

“Kau lihat dimana dia?” Seru Reza, cemas membayangi wajahnya. Dari jauh Fajar melihat Reza memegangi bekas luka bakar di lehernya. “Kita harus pergi dari sini, Fajar! Dia akan kembali!”

Fajar tahu Reza benar. “Hantu Buru”, begitu dia disebut, tak kenal ampun dan selalu datang diiringi malaikat maut. Orang itu pasti yang menimbulkan kekacauan ini. Dan dia pasti masih mengincar. Firasatnya sama dengan Reza. Namun, ada sesuatu yang masih mengganjal di benak Fajar. Sesuatu yang muncul sebelum serangan tadi, ada hal aneh dengan adiknya. Maya! Sontak matanya mencari.

“Di mana Maya?” Serunya pada Reza.

“Aku… aku tidak tahu. Tadi dia bersamaku, lalu semuanya menjadi kacau…” Suaranya seperti terdengar bersalah.

Ledakan kedua tiba-tiba menggelegar, kali ini lebih dekat, dan sangat kencang. Tanah di bawah kaki mereka terguncang. Pecahan aspal dan beton beterbangan. Fajar meringis, merasakan sengatan panas di lengannya. Darah merembes dari luka gores, membasahi jaket kulitnya.

“Kita harus pergi sekarang!” teriak Reza, suaranya dilanda kepanikan.

“Tidak!” Fajar berteriak kembali, kepalanya menggeleng keras. Ia tak mungkin meninggalkan Maya. Tidak lagi. Tidak setelah kejadian setahun lalu, saat ia gagal melindungi adiknya dari kekejaman dunia. Maya adalah satu-satunya keluarga yang ia miliki.

Mata Reza melebar. “Fajar, ini gila! Kita bisa—”

“Pergi!” Fajar memotong, suaranya dingin. “Aku akan menyusul.”

Tanpa menunggu jawaban, Fajar berlari, zig-zag di antara puing-puing, matanya awas mencari tanda-tanda Maya. Teriakan Reza yang memprotesnya ditelan oleh deru angin dan dentuman ledakan yang semakin dekat.

Bangunan di sekitar Fajar adalah kerangka-kerangka beton yang hangus, hasil dari serangan brutal yang baru saja terjadi. Aroma tajam mesiu dan sesuatu yang mirip daging terbakar menusuk hidungnya, membangkitkan memori kelam tentang dunia yang ingin ditinggalkannya.

“Maya!” Fajar terus memanggil, suaranya serak. Ia harus menemukannya.

Fajar terus berlari, matanya menyapu setiap sudut reruntuhan. Sebuah kilatan perak menarik perhatiannya. Jantungnya seolah berhenti berdetak. Di kejauhan, samar-samar di antara kepulan asap hitam, ia melihatnya. Sosok mungil Maya terbaring di dekat sebuah mobil yang juga hangus, tak bergerak. Kalung perak berbentuk kupu-kupu – hadiah dari Fajar – itu yang berkilauan samar di antara reruntuhan.

“Maya!” Fajar menghambur.

Samar-samar, Fajar mendengar suara tembakan. Suara langkah kaki berat berlari di atas aspal. Tapi ia tak peduli. Hanya ada Maya.

Fajar melihat debu mengotori blus putih Maya. Matanya terpejam, wajahnya pucat pasi. Fajar berlutut di samping Maya, menyentuh lehernya dengan gemetar. Masih ada denyut nadi.

Fajar merasakan gelombang kelegaan yang luar biasa, diikuti oleh gelombang ketakutan yang lebih besar. Ia harus membawa Maya pergi dari sini. Sekarang.

Suara dingin dan tajam menusuk telinganya, tiba-tiba terdengar. “Jangan lari. Aku tidak akan segan, Fajar.”

Fajar menegang. Hantu Buru.

Tangan Maya menggapainya. Tapi matanya masih tertutup. Dia harus tenang.

“Ikut sajalah, Fajar” Suaranya itu kembali menegurnya, terdistorsi topeng, namun mengingatkan Fajar pada sesuatu di masa kecilnya. “Kau tidak akan bisa lari lagi.” Hantu itu masih berbicara dari balik tembok di sana. Fajar kini merasakan sedang menjadi sasaran senjata apapun yang dipegang hantu itu.

“Kami sudah lama menanti ini, Fajar. Saatnya kau kembali.”

“Kembali?” Fajar menatap ke arah bayangan itu dengan pandangan tak mengerti. “Kembali kemana?”

Tiba-tiba, Maya membuka matanya perlahan, menatap Fajar dengan pandangan yang tak pernah ia lihat sebelumnya. “Kak…” bisiknya lemah, suaranya serak namun mengandung nada asing yang membuat bulu kuduk Fajar meremang. “Ayo ikut. Mereka sudah menunggu kita.”

Dunia Fajar runtuh dalam sekejap. Otaknya berusaha keras memproses apa yang terjadi, mencari-cari celah logika dalam situasi mustahil ini. Dari awal tadi, ini adalah jebakan. Namun semakin ia berpikir, semakin ia menyadari bahwa semua petunjuk selama ini telah ada di depan matanya. Di hadapannya. Ia hanya terlalu takut untuk melihatnya.

Pertanyaan-pertanyaan yang selama ini menghantuinya – tentang serangan, tentang Hantu Buru, tentang Maya – tiba-tiba menemukan jawaban, namun jawaban itu begitu mengerikan, begitu tak terbayangkan, hingga ia berharap lebih baik tidak pernah tahu.

[notokuworo.]

Catatan

Latihan menulis ini untuk menerapkan teknik narasi in media res