Surat Dumirah (3)

Photo by cottonbro studio on Pexels.com

Dumirah menatap pemuda yang berdiri di depannya dengan tatapan tak percaya. Darahnya berdesir, seolah melihat sosok yang telah lama hilang dari ingatannya. Arya berdiri di ambang pintu, membelakangi sinar matahari yang menyilaukan. Sekilas, bayangan Arya menyerupai postur seseorang yang pernah mengisi hati Dumirah bertahun-tahun silam.

Arya melangkah masuk, senyum hangat menghiasi wajahnya. Dumirah menyambut pemuda itu dengan pelukan erat, air mata menggenang di pelupuk matanya. Mereka duduk bersama, saling bertukar cerita tentang perjalanan hidup masing-masing.

“Aku tidak menyangka akhirnya bisa menemukanmu, Mbah Dum,” ucap Arya lembut. Dia menceritakan bagaimana petunjuk demi petunjuk menuntunnya ke tempat ini, bagaimana kisah masa lalu kakeknya dan Dumirah perlahan terungkap.

Dumirah mengangguk, senyum getir tersungging di bibirnya. Dengan suara bergetar, dia mulai mengisahkan alasannya pergi dari rumah keluarga Jatmiko bertahun-tahun lalu. “Aku tidak punya pilihan, Arya. Situasinya terlalu berbahaya untukku… untuk kami semua.”

Dumirah mengungkapkan betapa dia merasa bersalah karena meninggalkan Jatmiko tanpa penjelasan. Namun, ancaman dari pihak-pihak yang terlibat dalam pembunuhan aktivis itu membuatnya ketakutan. Dia terpaksa menghilang, memulai hidup baru jauh dari hiruk-pikuk kota.

“Aku sudah menikah dua kali setelah itu,” Dumirah melanjutkan, suaranya semakin pelan. “Punya anak, cucu juga. Tapi tidak pernah sehari pun aku melupakan kakekmu, Arya. Rasa bersalah ini selalu menghantuiku.”

Arya mendengarkan dengan seksama, tangannya menggenggam jemari keriput Dumirah. Dia bisa merasakan kepedihan yang selama ini dipendam wanita tua itu.

“Berkali-kali aku ingin menyelesaikan masalah ini, mengungkapkan semuanya pada Raras,” Dumirah terisak. “Tapi aku takut… takut melihat kemarahan dan kekecewaannya. Aku tidak sanggup membayangkan betapa terlukanya dia jika mengetahui kebenaran ini.”

Arya merangkul pundak Dumirah, berusaha menenangkan tangisnya. Dia mengerti beban yang ditanggung Dumirah selama bertahun-tahun, rahasia kelam yang menggerogoti jiwanya.

“Tidak apa-apa, Mbah Dum. Sekarang aku ada di sini,” bisik Arya lembut. “Kita akan mencari cara untuk menyelesaikan semua ini. Perlahan-lahan, tanpa menyakiti siapa pun.”

Dumirah mengangguk lemah, bersandar pada pelukan Arya. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, dia merasa sedikit kelegaan. Kehadiran Arya bagaikan secercah harapan, janji bahwa mungkin, suatu hari nanti, dia bisa terbebas dari belenggu masa lalu yang menyiksa.

Mereka duduk dalam diam, membiarkan keheningan menyelimuti ruangan. Sinar matahari sore menerobos jendela, membiaskan kehangatan yang menenangkan. Arya dan Dumirah, dua jiwa yang terhubung oleh benang takdir, kini bersatu dalam ikatan yang lebih kuat dari sekadar rahasia kelam. Mereka adalah keluarga, dan bersama-sama, mereka akan menghadapi apa pun yang ada di depan.

Arya menatap Dumirah dengan penuh tanda tanya. Mata tuanya yang sayu menyimpan banyak rahasia dan kepedihan. Di tengah kesunyian kuburan itu, Dumirah pun mulai membuka kotak pandoranya.

“Dulu, aku adalah simpanan seorang pengusaha kaya di Jakarta,” ujar Dumirah lirih. Suaranya bergetar menahan perih. “Aku menyaksikan sendiri bagaimana dia membunuh seorang aktivis yang menentang bisnisnya.”

Arya terhenyak. Dia tak menyangka Dumirah menyimpan rahasia sebegitu kelamnya. “Lalu apa yang terjadi, Mbah?”

Dumirah menarik napas panjang, berusaha mengumpulkan serpihan-serpihan ingatan yang telah lama dia kubur. “Aku ketakutan. Takut nyawaku terancam. Maka aku melarikan diri dari Jakarta, bersembunyi.”

Arya mengangguk, mulai paham alasan di balik kepergian Dumirah yang mendadak. Namun satu pertanyaan masih menggantung di benaknya. “Lalu… bagaimana dengan Kakek? Maksudku, Kakek Jatmiko?”

Sorot mata Dumirah menerawang jauh, menyelami kenangan manis sekaligus getir itu. “Kakekmu, Jatmiko, dia ditugaskan untuk menyelamatkanku. Membawaku ke tempat aman di Jawa Timur ini.”

Dumirah tersenyum tipis, senyum yang menyimpan sejuta makna. “Kami saling jatuh cinta. Tapi kami tahu, cinta kami tak mungkin bersatu. Aku hanyalah buronan, dia polisi yang punya masa depan cerah.”

Arya merasakan matanya memanas. Dia bisa merasakan kepedihan yang memancar dari setiap kata-kata Dumirah. Kepedihan dari cinta yang tak kesampaian.

“Kami hanya bisa saling menyurat, mencurahkan perasaan dalam untaian kata di atas kertas.” Dumirah tertawa kecil, tawa yang menyimpan tangis. “Hingga akhirnya Jatmiko memutuskan untuk menikahi Raras, sahabatku.”

Angin berdesir lembut, seolah ikut menghela napas berat bersama Dumirah. Arya terdiam, mencoba mencerna semua informasi yang baru saja diterimanya.

Ternyata inilah alasan di balik semua misteri ini. Alasan mengapa neneknya selalu bungkam soal masa lalu. Alasan di balik surat-surat cinta kakeknya yang tak pernah terkirim.

“Mbah…” Arya meraih tangan Dumirah, menggenggamnya erat. “Aku berjanji akan membantumu menuntaskan masalah ini. Kita akan mengungkap kebenaran di balik pembunuhan itu.”

Dumirah menatap Arya nanar, matanya berkaca-kaca. “Terima kasih, Nak. Tapi aku takut… Takut semua sia-sia. Sudah terlalu lama berlalu.”

Arya menggeleng tegas. “Tidak ada kata terlambat untuk kebenaran, Mbah. Kita akan memperjuangkannya bersama.”

Dumirah tersenyum, kali ini senyum yang lebih tulus. Senyum yang menyiratkan secercah harapan. Mungkin memang sudah waktunya dia menghadapi ketakutan terbesarnya.

Mungkin memang sudah saatnya kebenaran terungkap, tak peduli berapa lama waktu telah berlalu. Dan dengan dukungan Arya, Dumirah merasa lebih kuat dari sebelumnya.

Mereka berdua larut dalam diam, membiarkan angin menyapu lembut wajah mereka. Di tengah kuburan yang sunyi itu, tekad mereka untuk memperjuangkan keadilan semakin membara.

Dumirah tahu, ini tak akan mudah. Tapi setidaknya, dia tak lagi sendirian. Dia punya Arya, cucu dari pria yang pernah dicintainya, yang kini siap berjuang bersamanya.

Bersama, mereka akan menghadapi badai ini. Bersama, mereka akan menguak tabir gelap masa lalu dan meraih secercah cahaya kebenaran yang telah lama tersembunyi.

Arya sudah berpamitan ketika seorang gadis yang kira-kira seumuran dengannya keluar membawakan bungkusan oleh-oleh dari Dumirah untuk keluarga di Lumajang. Giliran Arya yang terpaku karena gadis di depannya adalah satu sisi pinang dari foto Dumirah yang ada di dalam tasnya. Mengucapkan terima kasih sambil mencuri-curi pandang. Ah sayang dia harus pergi.

[notokuworo.]

One thought on “Surat Dumirah (3)

Leave a comment