Hilang

Photo by cottonbro studio on Pexels.com

“Ma, lihat Matrioska yang biasanya diatas mejaku, ngga? ” tanya Cesa dengan suara tergesa-gesa, sambil tangannya masih sibuk mengangkat bantal sofa dan buku-buku di meja.

Ibunya, seorang wanita paruh baya dengan rambut yang mulai memutih di sisi-sisi kepalanya, melihat kesibukan Cesa dari ruang tengah. “Yang boneka rusia itu?”

Cesa mengiyakan, sambil masih sibuk mencari. Mamanya kelihatan menonton acara di televisi, dan berkomentar lama tidak melihat boneka itu. Matrioska adalah boneka-boneka yang dirancang khusus agar boneka yang lebih kecil berada di bagian dalam dari boneka yang lebih besar. Setiap boneka itu memiliki rongga di dalamnya. Cesa mendapatkan dari mendiang ayahnya. Tapi yang penting dari boneka itu adalah di rongga bagian dalam boneka yang paling kecil, dia meletakkan manik yang diberi oleh Gitas. Oleh-oleh dari saat Gitas pulang ke Kalimantan.

Meski wajahnya membuat senyum simpul karena ingatannya yang tiba-tiba dipenuhi Gitas, perutnya terasa melilit. Cesa sedikit menekuk badannya untuk meringankan nyeri. Kenangannya tentang batu manik yang diberikan kepadanya itu membuatnya pernah bertanya-tanya. Cesa baru kurang lebih satu tahun mengenalnya. Meskipun sebagai karyawan Gitas tergolong baru di Klinik tempat mereka bekerja, usianya lima tahun lebih tua dibandingkan usia Cesa.  Gitas bekerja sebagai tenaga medis PTT di sebuah kecamatan yang agak di pedalaman Kalimantan. Setelah menyelesaikan tugasnya di sana, Gitas mencari kerja di Jawa Timur, dan mendapatkan ada lowongan di Klinik Graha Medika, tempat Cesa lebih dahulu bekerja.

“Ketemu, Cesa?” suara ibunya memungkas lamunan. “Mana bisa ketemu, kalau sambil termenung begitu? Dicari !” ledek ibunya. 

“Biar, sudah. Nanti paling ketemu juga” sambil masih meremas perutnya yang baru mulai jadi lebih enak. “Aku mau ke Klinik dulu, ma.”


Pagi itu, Klinik Graha Medika sudah ramai dengan pasien yang datang silih berganti. Cahaya matahari pagi menyinari lorong klinik, menciptakan suasana yang hangat dan nyaman. Dr. Cesarina, yang di klinik biasa dipanggil sebagai dr. Rina, berjalan menuju ruang pemeriksaan.

Ketika memasuki kamar periksa dengan namanya di bagian pintu, Cesa bertemu dengan Odah, perawat yang dikenal karena sikap centilnya. Odah sedang berdiri di depan cermin, memperbaiki penampilannya.

“Morning, Dok. Kok kelihatan pucat. Semalam tidur larut ya?” tanya Odah sambil tersenyum melalui pantulan cermin.

Cesa menghela nafas, mencoba menyembunyikan rasa tidak nyaman di perutnya yang kembali terasa. “Iya, nih. Lagi kurang fit aja. Tapi, ada yang lebih penting dari itu. Hari ini saya udah janjian sama anak bu Rokayah, yang panas kemaren itu. Semoga sudah reda demamnya.”

“Sepertinya sudah ditangani dr. Gitas, dok. Tadi ibunya membawa anaknya pagi sekali.”

Cesa menoleh, “Bagaimana kondisinya? Apakah sudah ada perbaikan?”

“Dirujuk. Saya kurang jelas. Tadi waktu saya baru datang, bu Rokayah dan sudah membawa anaknya ke mobil. Masih bisa jalan. Tapi demamnya ngga turun-turun, kata dr. Gitas. Ibunya juga sepertinya khawatir, makanya dirujuk.”

“Baik, nanti saya tanya dokter Gitas.”

“Orangnya masih ada, tuh” Odah yang bisa melihat kedekatan kedua dokternya ini mengedip-ngedipkan matanya.

“Kenapa? Kelilipan?”


Cesa menatap hasil lab pasien di tangannya, dahinya berkerut. Di musim panas? Ini tidak biasa. Dia berjalan cepat menuju ruangan dr. Gitas, map biru di tangannya.

“Sudah lihat hasil lab-nya Doni? Lihat deh. Ini aneh banget,” ujarnya begitu membuka pintu.

Gitas mengangkat wajah dari tumpukan berkas di mejanya. “Anak bu Rokayah tadi? Kenapa, Sa?”

“Ini, hasilnya. Trombo 23.000. DBD kah?” Cesa menyodorkan map itu. “Musim panas begini kok bisa ya?”

Gitas menerima map dan membacanya dengan seksama. Keningnya berkerut. “Hmm… memang nggak biasa. Kok cepat ya? Kan baru kemaren panasnya.”

Cesa mengangguk. “Ya tapi di rumah sudah tiga hari. Yang aneh waktunya kok sekarang-sekarang ini.”

“Kita perlu lebih waspada.” Gitas menutup map, wajahnya serius. “Minta Erwin untuk mengingatkan bila ada permintaan pemeriksaan darah, perhatian pada Trombo-nya.”

“Iya.” Cesa bergegas keluar, hampir bertabrakan dengan Odah di pintu.

“Eh, dokter berdua. Ada apa nih? Kok serius amat?” tanya Odah penasaran.

“Ini lho, mba Odah. Doni anaknya bu Rokayah itu kayaknya DBD,” jelas Cesa.

Mata Odah membulat. “Hah? Sekarang kan belum musim hujan, Dok?”

“Nah, itu dia. Makanya kita heran.” Cesa menyilangkan lengan. “Coba datangi ke rumahnya. Lihat-lihat ada genangan air atau tempat-tempat yang bisa jadi sarang nyamuk Aedes. Sebelum kita laporkan.”

“Oke, siap, dok!” Odah “Rumahnya dekat sini kok, dok.”

Gitas menghampiri mereka, wajahnya masih serius. “Kalau begitu kita juga harus hati-hati. Aedes bisa terbang jauh.”

“Tenang, Dok. Nyamuknya takut kok sama aku!” Odah tertawa renyah sebelum berbalik pergi.

Gitas dan Cesa bertukar pandang.

“Bisa aja ada genangan air di sekitar rumah pasien. Atau mungkin dia baru bepergian ke daerah endemis.” Cesa berspekulasi. “Yang penting sekarang kita tangani dulu.” Kasus seperti ini seharusnya sudah ada beberapa. Ada pihak-pihak yang punya kepentingan dengan adanya kasus-kasus demam berdarah. 

Seolah bisa membaca pikirannya, Gitas berkata, “Kita laporkan dulu ke Dinas Kesehatan. Siapa tahu mereka punya info tambahan.”

“Ide bagus, Dok.” Cesa setuju. “Aku juga mau cek stok cairan infus dan obat-obatan. Siapa tahu ada kasus lain, kita harus siap.”


Cesa meremas-remas perutnya sambil bertekuk pada lututnya. Rasa sakit itu datang lagi. Apalagi ini dirasakan sambil mendengarkan bu Odah yang marah-marah, karena ditegur oleh staf puskesmas Gondosari. Pada saat dilaporkan ke Dinas Kesehatan, kasus DBD ini jadi pertanyaan kepada Gondosari, kenapa tidak ada laporan. Justru klinik yang malah melaporkan. Kontan yang punya pekerjaan jadi seperti kebakaran jenggot.

“Lha mereka kan ngga didatangi sama bu Rokayah. Kenapa jadi sewotnya sama saya. Masih untung ngga bablas sampai 10.000 sudah ketahuan. Amit-amit. Pak Jono itu ceriwisnya kayak gitu banget. Memangnya saya kesenengan banget punya pasien DBD.” Odah nyerocos panjang kali lebar.

“Sudah,” Cesa meredakan kejengkelan Odah “Memang kita seharusnya juga kemaren itu ngga langsung ke Dinas Kesehatan. Saya terlupa, kita bisa minta bantuan dulu ke Puskesmas.”

Odah masih ngomel-ngomel beberapa saat, tapi melihat pimpinannya juga sudah terima , ia sudah mulai reda. Dan baru terlihat olehnya dr. Rina memegang perut dengan wajah yang agak pucat.

“Kenapa, dok?”

“Ngga tahu, perut saya sakit, hilang timbul.”

“Saya panggil dr. Gitas ya?” tanya Odah.

“Ngga usah, paling nanti juga hilang lagi.” Sahut Cesa “Mungkin ikut marah-marah perutnya gara-gara mbak Odah dimarahi sama pak Jono.”

Odah tersenyum kecut.


Sudah jam 14.00, waktunya ganti dokter jaga dan Gitas sedari tadi sudah ada di ruang yang digunakan untuk berkumpulnya staf-staf Klinik Graha Medika. Ada kopi dan teh yang disediakan di ruangan itu. Kalo sedang tidak repot, mak Ijah – ibu Odah – seringkali juga meletakkan dagangannya di sana. Gorengan yang biasanya tidak sempat bertahan sampai sore sudah ludes.

“Bisa ngobrol sebentar, dok?” di depan staf lain, Cesa selalu menyebut Gitas dengan sapaan dok atau dokter Gitas, sebagaimana sebaliknya Gitas selalu menyebutnya dokter Rina.

Gitas bangkit dari duduknya dan menyusul di belakang Cesa ke arah Ruang Periksa. Ia melihat ada gelagat pembicaraan serius yang akan mengikuti.

“Apa ada masalah dengan Puskesmas Gondosari?” tanya Gitas sambil duduk di depan Cesa. Baru saja mereka mentertawakan Odah yang kembali marah-marah pada saat menceritakan kembali perihal teguran pak Jono dari Gondosari.

“Bukan. Ini konsultasi pribadi.” Cesa memulai.

“Eh?” Gitas meluruskan duduknya.

“Kok berapa hari ini, Cesa nyeri perut terus ya, mas. Hilang timbul dan kadang nyeri sekali, sampai harus membungkuk, agak hilang kalo seperti itu.”

“Mana? Coba diperiksa.” Gitas menunjuk bed periksa.

“Ngga ada yang khas. Ngga mual. Dan kalo kayak sekarang ngga terasa sakitnya.” Sambil bergerak malas ke tempat yang ditunjuk Gitas.

Gitas meletakkan tangannya di bagian atas perut Cesa, menekan disana dengan lembut. Meskipun tahu itu harus dilakukan tak urung tangan Cesa ikut ke arah perut. Karena baginya ini adalah pertama kali Gitas menyentuh bagian lain selain tangannya. “Ngga sakit. Ngga mual juga.”

Gitas menyusur ke bagian bawah, dan pada saat menekan bagian bawah kanan dia melihat muka Cesa, yang juga tetap sama tenangnya. “Ini sakit, Sa?”

“Ngga. Cesa sudah pernah Apendektomi, mas.” jelas Cesa.

“Coba duduk.” dilanjutkan dengan Gitas memukul dengan tangan terkepal punggungnya. Mencari kemungkinan ada gangguan pada ginjal. Tapi sama nihilnya. “Periksa Radiologi?”

“Nanti mungkin.” Cesa menggeleng. Baru belakangan ini yang dia merasakan ada perubahan pada badannya. Agak berpengaruh ke pergerakan, yang biasanya menurut Odah, dokter yang ngga bisa diam.

Gitas memegang tangannya. Gadis di depannya adalah sesama dokter, yang bisa sama-sama mendeteksi bila penyakit memerlukan hal yang lebih serius untuk dilakukan pemeriksaan.

Saat Gitas menyentuh tangan Cesa, ada kelembutan dalam pegangannya, sebuah pengakuan tanpa kata bahwa di antara mereka bukan hanya ada hubungan profesional, tetapi juga perhatian yang lebih mendalam. “Kamu tahu, Sa, sebagai dokter, kita terlatih untuk mendeteksi tanda-tanda penyakit. Tapi, …” dia berhenti, mencari kata-kata yang tepat, “…saya hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja.” Ini bukan hanya tentang kesehatan fisik Cesa, tetapi juga tentang beban emosional yang mungkin dia pikul sendirian.

Sudah beberapa minggu ini mereka akhirnya memutuskan untuk meningkatkan status hubungan kolega menjadi saling memperhatikan dan merindukan. Cesa keliatan tidak keberatan, Gitas belum menyampaikan isi hatinya. Meski masih bimbang, dia sudah yakin, gadis didepannya ini akan sangat mudah membuatnya teralih fokus.

Cesa tidak berupaya melepaskan genggaman Gitas. Justru merasa nyaman dengan ada orang yang bisa diajak berdiskusi. Kalau dia lapor ke mama, sudah pasti saat ini sudah dalam perjalanan ke rumah sakit. “Aku pulang saja dulu, mas. Coba istirahat di rumah.”

Gitas yang menjajari langkah saat Cesa keluar dari ruang periksa. Di ruang belakang, Odah yang memang sedang menyesap tehnya, melihat mereka menuju ke arah luar. Segera ia menyenggol Erwin yang kontan sempoyongan karena sambil menjaga agar kopi yang baru diambilnya tidak tumpah.

“Apa sih, mbak Odah?!” Erwin protes. Mata Odah berkedip kedip ke arah dua orang dokter mereka yang sedang berjalan menjauh ke arah luar. Melihat kelakuan Odah dan Erwin, semua yang di ruang istirahat tertawa termasuk mak Ijah.


Cesa berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit penuh motif bintang-bintang. Pikirannya berputar-putar, melompat dari satu hal ke hal lainnya. Kasus DBD yang ditanganinya beberapa hari lalu kembali muncul hari ini. Seorang anak dengan gejala yang sama. Kekhawatiran mulai menggerogoti benaknya.

“Kenapa tiba-tiba jadi bertambah kasus begini ya?” gumamnya pada diri sendiri. “Dimana nyamuk-nyamuk itu berkembangbiaknya? Kan mereka tidak bisa berbiak di got”

Cesa menghela napas panjang, mencoba mengundang ngantuk. Namun, seolah belum rela pergi, pikirannya justru beralih ke masalah lain yang mengganggunya. Nyeri perutnya.

“Apa ya penyebabnya? Haid juga normal-normal aja.” Cesa bertanya-tanya sambil mengingat-ingat siklusnya. Dia sudah mengeliminasi kemungkinan itu, tapi tetap saja belum menemukan jawaban yang memuaskan. Memang memerlukan mata yang bisa menembus ke dalam rongga perutnya.

Tiba-tiba, bayangan tatapan Gitas melintas di benaknya. “Gitas…” Nama itu meluncur lembut dari bibirnya. Sosok rekan kerjanya itu kini memenuhi pikirannya, menggeser sejenak kekhawatiran tentang kasus DBD dan nyeri perutnya.

Cesa tersenyum kecil mengingat betapa cepatnya mereka menjadi akrab dan cocok. Pertemuan pertama mereka di klinik seolah sudah ditakdirkan. Kecocokan di antara mereka terjalin dengan begitu natural, baik dalam pekerjaan maupun obrolan santai di sela-sela kesibukan. Takjub sekaligus heran. “Kayak udah lama kenal,” renungnya

Secepat kecocokan itu terjalin, secepat itu pula bara asmara mulai menyala di hati Cesa. Perasaan yang awalnya hanya sebatas rasa nyaman dan kagum, perlahan berubah menjadi sesuatu yang lebih intens, lebih dalam. “Apa tidak terlalu cepat ya?” Sekelumit ada rasa takut menyisip yang tidak sempat lama karena segera disergap kantuk yang memang ditunggunya.

One thought on “Hilang

Leave a comment