Surat Dumirah (2)

Photo by Pixabay on Pexels.com

Pakde Prayit menatap Arya lekat-lekat. Matanya menerawang, seolah mencari kata-kata yang tepat untuk memulai kisah.

“Dulu, di awal tahun 70-an, ada artis yang sangat cantik dan terkenal. Namanya Ratna Dania, dia terkenal, main beberapa film, menyanyi juga. Hampir semua orang paham bahwa Ratna Dania dekat dengan orang-orang besar pada waktu itu. Kamu tahu kan maksud pakde?” ucap Pakde Prayit dengan suara pelan. “Selang cuma setahun sejak pamornya, tiba-tiba Ratna Dania menghilang begitu saja, tidak pernah lagi ada pemberitaan. Nggak ada yang tahu keberadaannya. Seperti ditelan bumi.”

Arya mengerutkan kening, penasaran dengan kisah yang baru saja didengarnya. “Menghilang? Gimana maksudnya, Pakde?”

“Ya macam-macam kabarnya, tidak ada yang tahu persis waktu itu. Ada yang bilang Ratna Dania sudah meninggal, ada juga yang bilang ke luar negeri, bahkan katanya dia dibunuh. Maklumlah pada waktu itu semua serba ditekan. Pemberitaan seperti itu tidak pernah sampai ramai terdengar.” Pakde Prayit menghela napas panjang. “Tapi dalam keluarga Jatmiko, kita tahu bahwa Ratna Dania kemudian berganti nama jadi Dumirah.”

Nama Dumirah membuat jantung Arya berdegup kencang. Surat-surat cinta yang ditemukannya kembali terbayang di benaknya. “Dumirah? Jadi… Dumirah itu sebenarnya Ratna Dania?”

Pakde Prayit mengangguk pelan. “Iya, tapi cuma itu yang Pakde tahu. Entah bagaimana Dumirah dulu dekat dengan Bapak, Kakekmu, Jatmiko. Itu satu-satunya yang kami ketahui, bahwa Ratna Dania, tidak mati. Kemana orangnya berada, pakde tidak tahu.” Sambil mengangkat kakinya ke atas kursi teras, Prayit meneruskan “Waktu itu pemberitaan tidak seperti sekarang. Semua serba tidak jelas. Tapi orang lama-lama jadi terbiasa dan Dania tidak punya keluarga yang mencarinya. Kasihan, tapi begitulah, kami – pakde, ayahmu dan bulik Lilik tahunya.”

“Bapak menyimpan rahasia ini sampai sedo.” Prayit melanjutkan “Kau masih bingung?”

Arya mengangguk ragu. Ia mencoba mengingat-ingat kakeknya. Dan mencoba membayangkan sosok yang tubuhnya terlihat rapuh di usianya dulu itu adalah pacar seorang artis terkenal. Senyum mengembang di mulutnya, segera hilang karena bahunya ditoyor sama Pakde Prayit “Mikir apa kamu?”

“Kalau kamu mau tahu lebih banyak tentang Ratna Dania, kita bisa ke Tempeh. Kita bisa ketemu Bulik Lilik” Pakde Prayit meneruskan. “Waktu SMP, Bulikmu itu yang berada di posisimu sekarang, dia yang pertama menemukan surat-surat Dumirah untuk Bapak. Bahkan foto Ratna Dania sepertinya ada di Bulikmu”

Arya mengangguk-angguk setuju “Kok bisa Kakek Jatmiko kenal dengan Ratna Dania, paklik?”

“Sebelum terkenal sebagai Ratna Dania, mereka sepertinya sudah dekat. Ibu – Nenek Raras – itu malah sahabat dari Dania” Prayit melihat mata Arya melotot, lalu celingukan ke arah ruang tengah.

“Ngga usah repot-repot nanya nenek, Ya.” Pakde Prayit sudah menduga pikiran Arya, “Pakde, ayahmu, dan bulik Lilik sudah pernah mencoba, kami tidak dapat secuil pun informasi dari Ibu. Ngga ada yang berhasil. Bulikmu beberapa tahun mencoba, tapi Ibu tetap bungkam kalau Dumirah sudah disebut-sebut.” jelas Pakde Prayit.

Kontan seperti ada rasa gelembung di dada Arya, rasa keingintahuannya seperti berdesakan. Kalau sekarang mungkin sosok artis yang hilang bukannya akan jadi sepi, tapi malah jadi berita yang tidak habis-habisnya. Sebagian malah disebabkan oleh ulah arti itu sendiri. Pamor bisa didapatkan dengan berita apa saja.


Dua hari berlalu sejak pembicaraan Arya dengan Pakde Prayit. Pagi-pagi buta, mereka sudah bersiap untuk pergi ke Tempeh.

“Ayo Arya, kita berangkat!” seru Pakde Prayit dengan semangat.

Arya mengangguk mantap. Dia sudah tidak sabar ingin menguak misteri tentang Ratna Dania atau Dumirah ini.

Setibanya di kediaman Bulik Lilik, yang langsung menyambut di depan. “Wah, ada tamu istimewa nih! Arya? Wah, udah gede ya sekarang,” sapa Bulik Lili dengan senyum hangat. “Ayo, masuk dulu. Bulik buatkan es teh.”

Setelah berbasa-basi sejenak, Pakde Prayit langsung mengarahkan pembicaraan ke topik utama. “Begini dek, Arya ini sepertinya jadi penerusmu, tanpa sengaja surat-surat Dumirah di rumah Ibu dibacanya. Aku sudah menceritakan setahuku. Giliranmu yang nambahi.”

Raut wajah Bulik Lilik berubah serius. Dia menarik napas panjang sebelum memulai ceritanya.

“Wah, panjang ini ceritanya ..” Bulik Lilik tercenung, sudah agak lama dia berdamai dengan rasa penasaran yang dihadapinya tentang Ratna Dania atau Dumirah. Kenapa ibunya tidak pernah mau menceritakan, kenapa tidak pernah ditemukan lagi, bahkan kalau memang sudah meninggal, kenapa tidak pernah dikabarkan.

Bulik Lilik lalu beranjak ke lemari tua di sudut ruangan. Dia mengeluarkan sebuah album tua tapi kelihatannya disimpan cukup baik.

“Ini semua kliping koran yang pernah kutemukan,” kata Bulik Lilik sambil menyerahkan map itu pada Arya. “Di dalamnya ada beberapa berita tentang Dumirah.”

Dengan penuh rasa ingin tahu, Arya membuka album tersebut. Matanya terpaku pada headline berita yang tertulis dengan huruf tebal: HILANGNYA BINTANG MUDA RATNA DANIA; di kliping koran lain headline serupa juga sama besarnya dan tebalnya. Semua itu koran yang dikumpulkan pada tahun 1971 akhir.

Arya membaca artikel itu dengan seksama. Disebutkan bahwa Ratna Dania, seorang aktris berbakat, menghilang secara misterius di puncak karirnya. Tidak ada yang tahu ke mana dia pergi atau apa yang terjadi padanya.

Sambil melihat Arya yang menekuni kliping koran-koran itu, Bulik Lilik menceritakan “Bulik seumuran kamu juga pada waktu menemukan surat-surat itu. Sehabis Kakek Miko meninggal, bulik bebenah di rumah Lumajang, semua barang-barang Kakek Miko, bulik yang angkut ke atas itu”

Raras menceritakan bagaimana dia membaca sampai berulang-ulang. Semua surat difotocopy dan dipelajari di Surabaya, saat dia masih kuliah. Bertahun-tahun mencoba menanyakan ke ibunya, Raras. Tapi tidak pernah dijawab.

“Ini aneh sekali,” gumam Arya. “Kenapa dia tiba-tiba menghilang begitu saja?”

Bulik Lilik menggeleng. “Entahlah, Arya. Itu masih menjadi misteri hingga sekarang.”

Kemudian, Bulik Lilik mengeluarkan sebuah foto dari balik tumpukan koran. Foto itu menampilkan sosok wanita yang sangat cantik dengan senyum menawan.

“Ini foto Ratna Dania,” ucap Bulik Lilik pelan.

Arya terpana menatap foto itu. Kecantikan Ratna Dania benar-benar memukau. Matanya berbinar cerah, seolah menyimpan sejuta rahasia. Wajahnya yang tirus seperti magnet yang membuat tidak bisa lepas memandangnya.

“Dia… sangat cantik,” bisik Arya.

Bulik Lilik mengangguk setuju. “Ya, dia memang cantik luar biasa. Sayang sekali nasibnya harus berakhir tragis seperti ini. Ibu tidak pernah memberitahu apa yang terjadi. Mungkin karena masih marah kepada Bapak.”

Sebelum Arya dan Pakde Prayit berpamitan, Bulik Lilik sempat memberikan satu informasi lagi.

“Arya juga bisa mengunjungi Mbah Soegi di Sumbermanjing,” saran Bulik Lilik. “Beliau adalah bude kami, kakak dari nenek Raras. Mungkin beliau mau tahu sesuatu. Dulu bulik pernah coba, tapi waktu itu dianggap cari masalah.”

Arya mengangguk, dia ingat tempat mbah Soegi di Sumbermanjing. Di sana dekat dengan laut. Waktu masih sering diajak Ayah kesana, mereka sering makan kepiting dan cumi.

Mereka kemudian berpamitan meninggalkan kediaman Bulik Lilik, bertekad untuk menjumpai Mbah Soegi dan menguak tabir kebenaran di balik hilangnya Ratna Dania alias Dumirah.


Arya memulai perjalanannya menuju rumah Mbah Soegi di Sumbermanjing dengan penuh tekad. Matahari bersinar terik, namun tak menyurutkan semangatnya untuk mengungkap misteri tentang Dumirah. Sepanjang jalan, pikirannya dipenuhi tanda tanya dan harapan untuk menemukan jawaban.

Sesampainya di kediaman Mbah Soegi, Arya disambut dengan keramahan khas perempuan sepuh itu. Namun, ketika Arya menyinggung tentang Dumirah, raut wajah Mbah Soegi berubah. Ada keraguan dan kegelisahan yang terpancar dari matanya.

“Mbah, saya mohon. Ini demi keluarga kita juga,” pinta Arya dengan nada memohon.

Mbah Soegi terdiam sejenak, menimbang-nimbang keputusan yang akan diambilnya. Helaan napas panjang terdengar sebelum akhirnya dia angkat bicara.

“Baiklah, Arya. Mungkin ini memang sudah waktunya kebenaran terungkap,” ujar Mbah Soegi dengan suara parau. “Tapi kamu harus janji, jangan menghakimi siapapun setelah mendengar cerita ini.”

Arya mengangguk mantap, berjanji dalam hati untuk mendengarkan dengan pikiran terbuka.

Mbah Soegi memulai kisahnya, “Tahun 1972, Ratna Dania datang ke rumah orangtuaku di Malang. Wajahnya pucat dan tubuhnya gemetar ketakutan. Dia diantar oleh Jatmiko, kakekmu.”

Mata Arya membelalak. Ternyata benar, ada hubungan antara kakeknya dengan Ratna Dania.

“Jatmiko bilang, nyawa Dania terancam. Ada orang-orang yang mengincarnya karena dia menjadi saksi penculikan dan pembunuhan aktivis,” lanjut Mbah Soegi. “Sebagai polisi, Jatmiko merasa bertanggung jawab untuk melindunginya.”

Arya menyimak dengan seksama, mencoba merangkai kepingan-kepingan informasi yang didapatnya.

“Orangtuaku setuju untuk menyembunyikan Dania. Kami mengganti namanya menjadi Dumirah dan memalsukan identitasnya,” Mbah Soegi menghela napas berat. “Selama beberapa bulan, Dumirah tinggal bersama kami. Dia seperti bagian dari keluarga.”

Keheningan menyelimuti ruangan. Arya mencerna setiap kata yang diucapkan Mbah Soegi.

“Tapi kemudian, Dumirah menghilang tanpa jejak. Kami semua kebingungan dan khawatir. Jatmiko berusaha mencarinya, tapi sia-sia,” suara Mbah Soegi bergetar. “Sampai sekarang, kami tidak tahu apa yang terjadi padanya.”

Arya terdiam, berusaha memahami situasi yang dihadapi keluarganya puluhan tahun silam.

“Mbah, kenapa Mbah tidak pernah menceritakan ini pada Nenek Raras?” tanya Arya hati-hati.

Mbah Soegi tersenyum getir, “Aku tidak ingin Raras salah paham. Dia mungkin berpikir Jatmiko berselingkuh dengan Dumirah. Padahal, hubungan mereka murni sebatas polisi dan saksi yang dilindungi.”

Arya mengangguk pelan, mulai memahami kompleksitas situasi yang dihadapi keluarganya.

“Aku harap, dengan menceritakan ini, Raras bisa mengerti dan memaafkan kami yang telah menyembunyikan kebenaran selama bertahun-tahun,” ucap Mbah Soegi dengan nada penuh harap.

Arya menggenggam tangan Mbah Soegi, berusaha menenangkan perempuan sepuh itu. Dia berjanji dalam hati untuk membantu mengungkap misteri hilangnya Dumirah dan memperbaiki kesalahpahaman dalam keluarganya.

Matahari mulai condong ke barat ketika Arya berpamitan. Langkahnya terasa lebih ringan setelah berjumpa dan mendengar pengakuan Mbah Soegi. Namun, masih banyak pertanyaan yang belum terjawab. Arya bertekad untuk terus mencari kebenaran, demi keluarganya dan demi Dumirah yang nasibnya masih menjadi misteri.

One thought on “Surat Dumirah (2)

Leave a comment