Waktu

Photo by Giallo on Pexels.com

Gitas berdiri di depan jendela kamar jaga dokter, memandang ke halaman Klinik Graha Medika yang kini tampak berbeda. Matanya menelusuri setiap sudut, mengamati perubahan-perubahan yang terjadi selama beberapa tahun terakhir. Halaman yang dulu hanya ditumbuhi rumput jepang, kini telah disulap menjadi tempat bermain anak-anak dengan ayunan dan perosotan warna-warni. Luas area berumput bahkan sudah jauh kalah besar dibandingkan dengan paving block yang mendominasi sebagian besar halaman.

Dia menghela napas panjang, merasakan hawa dingin dari AC yang baru saja dipasang di kamar jaga. Dulu, mereka hanya mengandalkan kipas angin yang suaranya berisik bila mas Ujang lama belum membersihkannya, suara yang memecah keheningan malam. Namun sekarang, ruangan ini terasa seperti kutub utara, dingin menusuk tulang. Meski begitu, Gitas tidak yakin apakah rasa dingin yang menyelimutinya murni karena udara buatan atau karena kekosongan yang ditinggalkan oleh seseorang.

Pikirannya melayang ke ruang periksa, tempat di mana dulu dia dan Cesa menghabiskan banyak waktu bersama. Kini, ruangan itu dilengkapi dengan mesin USG canggih yang pernah diminta Cesa pada yayasan. Gitas ingat bagaimana mata Cesa berbinar penuh harap saat mengajukan permintaan itu. Gitas bisa membayangkan bagaimana senyum yang merekah lebar bila dia sempat mengalami ketika akhirnya mesin itu tiba.

Semua tampak berbeda sekarang. Tentu saja, ketidakhadiran Cesa adalah perubahan terbesar yang tak bisa diabaikan. Waktu seolah membuat ketiadaannya semakin nyata, membungkus Gitas dalam kegelapan yang tak berujung. Dia merindukan tawa renyah Cesa yang menggema di lorong klinik, sentuhannya yang menenangkan saat Gitas merasa lelah, dan kehadirannya yang selalu membawa kehangatan di tengah kesibukan mereka.

Gitas melangkah menjauh dari jendela, duduk di tepi ranjang dengan kepala tertunduk. Tangannya menggenggam erat boneka Rusia milik Cesa. Boneka itu ditemukannya di dalam sebuah kotak. Cesa pernah menceritakan namanya adalah matrioska. Boneka berlapis yang selalu ada boneka yang lebih kecil di dalamnya. Sampai pada rongga yang terakhir, tempat Cesa meletakkan liontin yang diberikannya sebagai oleh-oleh untuk Cesa.

Tapi kini, tawa itu sudah tidak ada lagi, Gitas merasa seolah sebagian dari dirinya telah hilang, dibawa pergi bersama kepergian Cesa yang terlalu tiba-tiba.

Dia memejamkan mata, membiarkan kenangan demi kenangan bermain di benaknya seperti film yang tak ada habisnya. Setiap momen berharga yang mereka lalui bersama, setiap percakapan yang mereka bagi, setiap impian yang mereka rajut, kini hanya tinggal serpihan-serpihan yang harus dia susun kembali seorang diri.

Gitas tahu, waktu akan terus bergulir dan perubahan akan terus terjadi. Namun, dia juga tahu bahwa cintanya untuk Cesa akan selalu ada, tak lekang oleh waktu dan tak pudar oleh jarak. Meski kini Cesa hanya hidup dalam kenangannya, Gitas berjanji untuk menjaga api itu tetap menyala, sebagai penghormatan untuk wanita yang telah mengajarkannya arti cinta sejati.

One thought on “Waktu

Leave a comment