Haru

Photo by Karolina Grabowska on Pexels.com

Mereka sama menggunakan masker dan gogle, debu Bromo bahkan bergerak turun seperti tirai halus di antara mereka. Meski suara mereka terdengar tapi sulit melihat secara pasti siapa sebenarnya yang berbicara.

Tanti mengamati sosok Gitas yang sedang memberikan salam kepada ketua tim ini, dr. Yunus. Dibandingkan dengan Yunus yang seperti raksasa, Gitas memang sedikit lebih kecil. Itu karena ketua Tim Siaga Bencana itu berbadan besar sehingga yang lain di dekatnya seperti manusia-manusia kerdil. Gitas menjabat erat tangan Yunus dan kemudian akan menjabat satu-satu setiap tim. Tapi angin yang berhembus di halaman Puskesmas Sukapura membuatnya urung melakukan itu, alih-alih kemudian mempersilakan tamu-tamunya tersebut masuk ke dalam ruang pertemuan sekaligus posko kendali bencana Bromo.

Mereka memasuki ruangan pertemuan dengan langkah cepat. Yunus meminta timnya duduk di kursi yang telah disediakan. Dia dan Gitas menempati kursi bagian depaan , menghadap anggota timnya. Setelah semua duduk, Yunus memulai perkenalan.

“Bapak Kepala Puskesmas, sebelum kita mulai, saya ingin memperkenalkan anggota tim kami” ucap Yunus dengan suara lantang. Dia menoleh ke arah Gitas yang duduk di sebelah kanannya.

Yunus memulai dari ujung kiri. “Ini adalah dr. Budi,” Budi mengangguk sopan ke arah Gitas.

Yunus melanjutkan, “Di sebelahnya ada Suster Ratna, perawat senior yang berpengalaman dalam situasi bencana.” Ratna tersenyum ramah dari balik maskernya.

“Lalu kita punya Pak Hadi, koordinator logistik dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur.” Hadi mengangkat tangannya, memberi salam.

Yunus bergeser ke sebelah kanan. “Di sini ada dr. Ristanti, dokter umum dari Puskesmas Gondosari.”

Mendengar nama itu, jantung Gitas berdegup dan sepersekian detik nama itu telah membanjiri area memori di otaknya dengan kenangan. Gitas melirik sekilas, menatap sosok yang duduk di seberang meja. Meski tertutup masker dan kacamata, Gitas yakin itu adalah Tanti yang sama. Tanti balas menatap Gitas, matanya menyipit, menandakan sebuah senyuman.

Gitas mencoba mengendalikan keterkejutannya. Sudah satu setengah tahun sejak terakhir kali mereka bertemu. Kenangan masa lalu berkelebat dalam benaknya. Namun, Gitas segera menyadarkan diri. Ini bukan saatnya untuk nostalgia. Mereka di sini untuk tugas penting. Samar-samar ia mendengar Yunus yang sedang menyebutkan satu-satu nama anggota tim lainnya. Sambil berupaya mengangguk ke setiap orang.

Yunus mengakhiri perkenalan dan memulai diskusi. “Jadi, dr. Gitas, bisa tolong jelaskan situasi terkini dan bantuan apa yang Anda butuhkan?”

Gitas menarik napas dalam, mencoba mengembalikan fokus. “Seperti yang kita tahu, letusan Gunung Bromo telah menyebabkan hujan abu yang signifikan di Kecamatan Sukapura. Banyak warga yang mengalami gangguan pernapasan dan iritasi mata. Persediaan masker dan obat-obatan kami menipis.” Gitas juga menginfokan bagaimana hujan abu berpengaruh pada infrastruktur, sekolah ada yang ambruk atapnya, rumah penduduk juga. Kehidupan di Sukapura jadi suram seminggu ini.

Budi angkat bicara, “Kami membawa pasokan masker N95 dan obat-obatan untuk gangguan pernapasan. Kami juga siap memberikan konsultasi dan perawatan bagi warga yang membutuhkan.”

Gitas mengangguk, “Terima kasih, itu akan sangat membantu. Dr. Budi mungkin nanti di Puskesmas saja. Pasien yang sesak biasanya datang langsung ke Puskesmas, dok.”

“Selain itu, kami juga kesulitan dengan air bersih. Abu vulkanik menyulitkan untuk mendapat air yang tidak ada abunya.” Gitas melanjutkan.

Pak Hadi menyahut, “Kami sudah berkoordinasi dengan PDAM setempat. Kami juga dapat pinjaman 5 truk tangki dari Provinsi. PDAM akan menambahkan kiriman tangki-tangki air bersih ke titik-titik distribusi yang sudah ditentukan.”

Diskusi terus berlanjut, membahas setiap aspek bantuan yang diperlukan. Gitas memberikan informasi terperinci tentang kondisi di lapangan, sementara anggota tim menawarkan solusi dan dukungan.

Di tengah diskusi, Gitas sesekali mencuri pandang ke arah Tanti. Ada banyak pertanyaan yang ingin dia ajukan, banyak hal yang ingin dia sampaikan. Namun, Gitas tahu, ini bukan waktu yang tepat. Mereka harus fokus pada misi yang ada di depan mata.

Pertemuan berlangsung selama setengah jam berikutnya. Setiap detail dibahas dengan seksama, setiap tugas dibagikan dengan jelas. Mereka semua tahu, waktu adalah esensi dalam situasi seperti ini. Setiap detik yang terbuang dapat berarti penderitaan bagi warga yang terdampak.

Ketika pertemuan berakhir, Yunus menutup dengan ucapan terima kasih dan penekanan akan pentingnya kerjasama tim. Semua anggota mengangguk dengan tekad yang terpancar di mata mereka. Mereka siap menghadapi tantangan yang ada di depan.

Tim kemudian diberikan waktu untuk istirahat di Wisma Tamu. Jaraknya tidak terlalu jauh dari Puskesmas, jadi mereka memutuskan untuk berjalan kaki ke sana.


Gitas mengantarkan tamunya, dan menjajari langkah Tanti yang memang berada paling akhir dari rombongan itu. Tanti menyurutkan langkahnya dan membalikkan badan. Mereka saling menatap sejenak.

“Halo” Tanti memulai

“Kenapa ngga bilang?” Gitas menurunkan maskernya.

Tanti menyentuh tangan Gitas, meminta waktu. Dia menolehkan kepalanya dan mohon izin kepada dr. Yunus. “Dok, saya nyusul ya. Mau ngobrol dulu sama dr. Gitas. Saya nanti kesana sendiri. Kunci kamar saya sudah di Mbak Ratna.”

Yunus mengiyakan. Dia sudah diberitahukan bahwa dr. Ristanti adalah pembina Klinik Graha Medika tempat dr. Gitas bekerja sebelum pindah ke Sukapura. “OK. Kita baru besok actionnya. Take your time.”

Tanti tersenyum dan berbalik lagi ke arah Gitas, “Tanya apa tadi?”

“Kok ngga bilang-bilang ditugasi di sini?” Gitas meneruskan. “Aku .. kita.. sudah berapa lama ya?”

“Setahun lebih mungkin.” Tanti memahami pertanyaan itu. Ini adalah bulan ke 18. Dia tidak memerlukan perkiraan. Dia hapal betul kapan Gitas tiba-tiba meninggalkan Klinik Graha Medika. Ada sedikit rasa kesal, tapi dia tahu ada rasa lain yang lebih bergelora saat ini.

Gitas kemudian bercerita tentang penerimaan CPNSnya yang waktu itu seakan tiba-tiba. Semuanya berlangsung begitu cepat. Dari pengumuman sampai dengan tiba-tiba pemberkasan, dia berada di Probolinggo.

” .. ibu juga sudah meninggal, tepat pada waktu pengurusan berkas CPNS itu. Jadi harus mondar mandir ke Palangkaraya juga.”

Tanti ganti terkejut. Sedikit rasa kesal yang tadi ada langsung menguap. Dia menyampaikan belasungkawa dan meminta maaf tidak tahu itu terjadi.

“Ngga pernah ke Klinik lagi?” Tanti bertanya.

Gitas menggeleng, “Dari penerimaan CPNS dan waktu ibu ngga ada itu, langsung mulai masuk pelatihan-pelatihan. Disini, dokter sangat kurang. Kepala Puskesmas juga dirangkap. Jadi balik seperti PTT dulu. Oya, bagaimana kabar mbak Odah, mas Erwin, lainnya? Masih jadi pembina Graha Medika kan?”

Tanti mengangguk. “Mbak Odah masih sama, cerewet tapi baik hati. Mas Erwin juga, masih suka bercanda. Sekarang dokternya tiga orang. Sudah jadi rawat inap kliniknya. Oya mak Ijah dibuatkan kantin kecil di belakang. Gorengannya sekarang juga dibeli pasien.” Tanti tersenyum menceritakan mereka. “Klinik berjalan seperti biasa, tapi rasanya ada yang kurang tanpa mas dan Cesa.”

Mendengar nama Cesa disebut, atmosfer di antara mereka berubah. Kenangan akan sosok ceria itu menyeruak, membawa serta rasa kehilangan yang masih membekas. Tanti tahu ia sudah kelepasan.

Gitas menarik napas dalam, berusaha mengendalikan emosinya. “Aku masih sering teringat Cesa. Bagaimana dia selalu bersemangat, selalu punya ide-ide brilian untuk klinik.”

Tanti mengangguk, matanya berkaca-kaca. “Dia seperti matahari, selalu menerangi hari-hari kita. Kepergiannya terlalu cepat, terlalu tiba-tiba.”

Mereka terdiam sejenak, membiarkan kenangan tentang Cesa menyelimuti mereka. Senyumnya yang hangat, tawanya yang renyah, semangatnya yang menular. Semua itu kini hanya tinggal kenangan.

Gitas memecah keheningan, “Memang terlalu cepat” sambil menundukkan kepala. Mereka masih saling bertukar cerita tentang momen-momen berharga bersama staf-staf Klinik Graha Medika, tapi Cesa memang selalu jadi tokohnya. Selalu ada bagaimana Cesa yang hadir untuk menghibur ketika mereka lelah, bagaimana dia selalu punya solusi kreatif untuk setiap masalah di klinik.

“Ingat inovasinya tentang Pemantau Jentik Berkala itu? Di Puskesmas ini kami buat yang mirip dengan itu.” Gitas bertanya, senyum kecil menghiasi wajahnya.

Tanti mengangguk, mengenang. “Dia penuh ide, kami beruntung pernah punya jejaring Graha Medika. Kami sangat terbantu saat itu.”

Kenangan demi kenangan mengalir, membawa kehangatan di tengah kesedihan yang mereka rasakan. Cesa mungkin telah tiada, tapi kehadirannya masih terasa kuat dalam setiap cerita yang mereka bagi.

Tanpa sadar, air mata menetes di pipi Tanti. Gitas mengulurkan tangan, menyeka air mata itu dengan lembut. Tatapan mereka bertemu, penuh pengertian dan dukungan.

“Cesa akan selalu hidup dalam kenangan kita,” Gitas berkata lembut. Rahangnya mengeras menahan kembali ke momen-momen itu.

Mereka terdiam lagi, membiarkan kesedihan dan kehangatan memenuhi hati mereka. Meski Cesa telah tiada, ikatan yang terjalin di antara mereka, kenangan yang mereka bagi, akan selalu menjaga Cesa hidup dalam hati mereka. Tanti mengulurkan tangan, Gitas sejenak balas menggenggam. Sebuah gestur sederhana, namun sarat akan dukungan dan pengertian. Tanti menemukan kekuatan dalam kehangatan tangan Gitas.

Dalam diam, mereka berbagi duka dan kekuatan. Kenangan akan Cesa mungkin membawa rasa haru yang dalam, namun juga mengingatkan mereka pernah dipersatukan karena itu. Sebuah ikatan yang terbentuk dari pengalaman bersama, dari tawa dan air mata yang telah mereka bagi.Dan dalam momen itu, di tengah hiruk-pikuk bencana yang menanti untuk ditangani, Gitas dan Tanti menemukan kedamaian dalam kebersamaan. Sebuah pengingat mereka tidak sendiri.

One thought on “Haru

Leave a comment