Surat Dumirah (1)

Photo by cottonbro studio on Pexels.com

Matahari telah tenggelam ketika kereta ekonomi yang ditumpangi Arya Wijaya tiba di Stasiun Klakah, Lumajang. Suara peluit kereta memecah keheningan petang, bersamaan dengan decit roda besi yang bergesekan dengan rel. Seiring kereta meninggalkan stasiun, Arya membawa langkah kakinya menuju tulisan keluar.

Sambil menarik napas dalam-dalam, ia menghirup aroma sekeliling stasiun. Bau tanah basah sehabis hujan bercampur dengan aroma-aroma makanan, jagung bakar dan gorengan-gorengan yang dijajakan pedagang dan kantin kecil di luar peron.

Stasiun kecil itu masih sama seperti ingatannya bertahun-tahun silam. Tembok-tembok kusamnya memang sudah berganti. Kursi-kursi panjang dari kayu lapuk sudah menghilang. Diganti kursi tunggu berwarna biru. Perubahan sudah sampai kesini juga.

Begitu keluar stasiun, Arya langsung diserbu beberapa tukang ojek yang menawarkan tumpangan. Dengan logat Jawa timuran kental, mereka berebut penumpang bak kawanan semut mengerubuti gula.

“Monggo mas, ojek, ojek! Mau ke mana?” seru seorang bapak berusia paruh baya.

Arya tersenyum dan mengangguk. Ia naik ke atas motor butut itu, mencengkeram erat pinggang si tukang ojek ketika motor menderum meninggalkan stasiun. Angin malam yang dingin menerpa wajahnya, mengibarkan helaian rambut hitamnya yang mulai memanjang.

Sepanjang perjalanan menuju rumah neneknya, Arya mengamati suasana kota kecil itu lekat-lekat. Jalanan lengang dengan deretan pertokoan masih berjajar di kiri kanan. Makin banyak tapi tidak ramai. Lampu-lampu neon dan spanduk warna-warni menghiasi bagian depan toko, menerangi trotoar yang dilalui pejalan kaki.

Meski beberapa bangunan tampak lebih modern, sebagian besar masih sama seperti yang terekam di benak Arya. Semua itu membawa Arya bernostalgia ke masa kecilnya, saat ia menghabiskan liburan di rumah sang nenek.

Setengah jam kemudian, ojek yang ditumpangi Arya berbelok ke sebuah gang dan berhenti di depan pagar. Arya turun dan membayar ongkos, lalu melangkah masuk ke pekarangan rumah neneknya.

Rumah sederhana itu masih berdiri kokoh, dinding mengilat tertimpa cahaya lampu teras. Pot-pot bunga dan tanaman merambat menghiasi sekeliling rumah, menciptakan atmosfer asri nan tentram. Aroma masakan menguar dari jendela dapur yang terbuka, mengingatkan Arya pada masakan lezat sang nenek.

Belum sempat Arya mengetuk, pintu depan telah menjeblak terbuka. Sosok wanita tua mungil berdiri di sana, senyum lebar menghiasi wajahnya yang dihiasi keriput. Meski dimakan usia, mata wanita itu masih berbinar penuh semangat.

“Arya! Ayoo masuk” serunya riang seraya merentangkan tangan.

Arya menghambur ke pelukan sang nenek, merasakan kehangatan dan kasih sayang terpancar dari dekapannya. Meski telah lama tak bersua, ikatan batin di antara mereka masih sama eratnya.

“Ayo masuk, Nak. Nenek sudah masak banyak untukmu,” ujar sang nenek sambil menggandeng Arya ke ruang tengah.


Malam itu, setelah puas berbincang dan menyantap hidangan lezat buatan nenek, Arya memilih untuk tidur di kamar atas. Kamar masa kecilnya masih sama seperti dulu, ranjang kayunya yang sudah tidak ada, berganti dengan springbed, meja belajar, dan jendela besar menghadap sebuah bangunan besar perkantoran. Sudah tidak bisa lagi melihat langit berbintang dari sini.

Arya membuka laptop, niatnya ingin mulai mengerjakan skripsi yang sudah molor berbulan-bulan. Jemarinya sudah berada di atas keyboard, tapi otaknya buntu. Pikirnya mungkin karena masih capek perjalanan. Dia menghela napas panjang, menatap langit-langit kamar masa kecilnya yang kini terasa asing.

Matanya berkeliling, mencari distraksi. Di sudut kamar, lemari tua berdebu menarik perhatiannya. Lemari kayu jati dengan ukiran klasik, warisan sang kakek. Didorong rasa penasaran, Arya bangkit dan membuka pintunya yang berderit.

Di dalam lemari, barang-barang kakek tersusun rapi. Topi fedora usang, medali-medali penghargaan, pipa rokok, dan barang-barang nostalgia lainnya. Ada sebuah kotak kaleng yang letaknya terbalik. Arya bermaksud meletakkannya dengan benar ketika isinya keluar dari tutupnya yang tiba-tiba terbuka. Satu berkas diikat dengan pita.

Arya memasukkan lagi kumpulan kertas-kertas itu. Sekilas tulisan yang ada di dalam kertas-kertas itu terbaca dan isinya membuat Arya tertegun – setumpuk surat dengan kertas menguning termakan usia. Diambilnya selembar, tulisan tangan indah tertera di sana. Nama pengirimnya membuat dahi Arya berkerut.

“Dumirah? Siapa itu Dumirah?” gumamnya. Nama Nenek bukan itu, Nama nenek adalah Rara Samita. Siapa Dumirah ini, ulangnya. Didorong rasa ingin tahu, Arya mulai membaca. Kata-kata yang penuh kerinduan.

.. aku memikirkan kita. Kapan ke Malang? Rasa takutku sudah mulai reda, kemarin ibu yang di depan rumah ini mengantari masakan, dia banyak bertanya. Untunglah dia tidak mengenali aku. Mas tidak ada tugas lagi kah ke sini? Aku bersyukur bisa disini. Tapi aku juga merasa sangat sendiri…

Ungkapan kerinduan. Arya mulai mengira ini tentu adalah kekasih kakeknya. Tertera disana tahun dikirim suratnya 1980. Sudah lebih dari 4 dekade. Apakah setelah pernikahan kakek dengan nenek atau sebelumnya? Keduanya sama menyiratkan cerita yang membuatnya berkerut kening.

Kamu adalah ragaku, Mas Miko. Aku merindukanmu dalam setiap hembus napasku.

Arya membalik-balik surat yang paling awal dari perempuan yang bernama Dumirah ini. 1979, cuma dua tahun. Tapi sepertinya ditulis setiap minggu. Arya mengambil bagian paling belakang, tertanggal 2 Februari 1979. Isinya menggambarkan apa yang dirasakan Dumirah

Aku yakin ada orangnya di desa ini, Mas Miko. Kemarin ada yang berkendara lewat sini dan seperti melihat-lihat ke arah dalam. Aku ingin kamu ada disini, Mas. Firasatku kurang enak.

Aku tahu pasti kau akan bilang akan semakin besar kemungkinan kita diketahui kalau aku disana. Tapi pulanglah sebentar ..

Arya menelan ludah, jantungnya berdegup. Firasat buruk? Apa maksudnya? Tangannya gemetar membuka surat berikutnya, tapi tidak ada penjelasan. Arya merasakan Dumirah seperti diawasi, dan banyak dari isi surat di awal-awal ini ketakutannya tentang sesuatu yang tidak jelas.

Jam dinding berdetak, jarum pendek menunjuk angka sebelas. Arya tak peduli. Rasa penasaran mengalahkan kantuk. Surat demi surat dibaca, tenggelam dalam kisah cinta kakek dan wanita misterius bernama Dumirah ini.

Dia melirik jam dinding, pukul 23:55. Sudah hampir tengah malam, tapi rasa kantuk menguap entah ke mana. Otaknya dipenuhi pertanyaan tentang Dumirah dan hubungannya dengan sang kakek.

Kenapa Nenek tak pernah cerita? Apa yang terjadi pada Dumirah? Firasat buruk apa yang dia maksud?

Arya menghempaskan punggung ke kasur, menatap langit-langit dengan pandangan menerawang. Misteri ini mengusik benaknya, mengalahkan stres skripsi.

Dia harus mencari tahu. Besok, dia akan menanyakan langsung pada Nenek. Tentang Dumirah, tentang surat-surat ini, tentang masa lalu yang selama ini tersimpan rapat.


Pagi itu, mentari bersinar cerah menyinari rumah tua itu. Aroma masakan Nenek Raras menguar dari dapur, memenuhi seisi rumah. Arya duduk di meja makan, menyantap hidangan lezat buatan sang nenek dengan lahap. Nasi hangat, sayur lodeh, dan ikan asin goreng menjadi sarapan sederhana namun nikmat itu.

Saat Arya tengah meneguk teh manisnya, terdengar bunyi pagar belakang yang dibuka. Derap langkah kaki memasuki rumah, diiringi suara berat yang tak asing lagi. “Assalamu’alaikum! Ibu, Arya!” seru Pakde Prayit dengan nada riang.

“Wa’alaikumsalam, Pakde,” sahut Arya sembari beranjak dari kursi untuk menyambut pamannya. Mereka berpelukan sejenak, melepas rindu.

Nenek Raras muncul dari dapur dengan senyum mengembang. “Wah, tumben pagi-pagi sudah ke sini, Prayit. Ada apa ini?” tanyanya penuh keheranan.

Pakde Prayit terkekeh. “Tidak ada apa-apa, hanya mendengar Arya datang, jadi pagi tadi langsung kesini. Ingin mengobrol dengan ponakan,” ujarnya sambil menepuk pundak Arya. Mereka pun larut dalam perbincangan ringan, ditemani secangkir kopi dan kue-kue tradisional.

Obrolan mereka bergeser ke topik rencana masa depan Arya setelah lulus kuliah nanti. “Jadi, kamu mau kerja di mana setelah ini, Arya?” tanya Pakde Prayit penasaran.

Arya menggaruk kepalanya yang tak gatal. “Belum tahu pasti sih, Pakde. Tapi aku ingin coba melamar ke beberapa perusahaan di Jakarta,” jawabnya dengan nada sedikit ragu.

“Ngomong-ngomong soal kuliah, bagaimana skripsimu? Lancar?” Nenek Raras menyela, membuat Arya tersentak. Pertanyaan itu mengingatkannya pada surat-surat kakek yang ditemukannya semalam.

Arya menatap neneknya lekat-lekat. “Nek, aku tadi malam tidak sengaja melihat surat-surat Kakek. Siapa itu Dumirah? Kenapa Nenek nggak pernah cerita?” tanyanya memberanikan diri.

Raut wajah Nenek Raras berubah. Keengganan terpancar jelas dari sorot matanya yang sayu. Bibirnya terkatup rapat, seolah enggan mengucap sepatah kata pun.

Suasana mendadak hening dan canggung. Pakde Prayit yang menyadari ketegangan itu buru-buru angkat bicara. “Arya, bagaimana kalau kita ngobrol di teras depan saja? Ada yang ingin Pakde tunjukkan,” ajaknya sembari bangkit dari kursi.

Raras mengangguk pada Prayit, seolah menyatakan ‘sudah waktunya.’

Arya mengikuti Pakde Prayit ke bagian depan rumah, meninggalkan Nenek Raras yang masih terdiam dengan sorot mata menerawang.

Di teras depan, angin sejuk berhembus memainkan dedaunan pohon rambutan. Pakde Prayit duduk di kursi kayu tua, menepuk tempat di sebelahnya, mengisyaratkan Arya untuk duduk.

“Arya, mungkin ada hal-hal yang belum kamu ketahui tentang keluarga kita,” ucap Pakde Prayit memulai pembicaraan. Nada suaranya terdengar hati-hati, seakan memilih kata yang tepat.

Arya mengernyitkan dahi. “Maksud Pakde? Apa ini ada hubungannya dengan surat-surat itu?” tanyanya tak sabar.

Pakde Prayit menghela napas panjang. “Ya, ini tentang masa lalu kakekmu dan juga nenekmu. Tapi kamu harus mengerti, ada alasan mengapa hal ini tidak pernah diceritakan sebelumnya,” jelasnya dengan nada serius.

Pakde Prayit menatap Arya lekat-lekat. “Dengar, Arya. Ini bukan cerita yang mudah untuk diceritakan. Tapi kalau kamu memang ingin tahu, Pakde akan berusaha menjelaskannya. Hanya saja, kamu harus siap menerima apapun kenyataannya nanti,” ujarnya dengan nada penuh peringatan.

Arya menarik napas dalam-dalam. Tekadnya sudah bulat. Apapun rahasia yang tersimpan di balik surat-surat itu, dia harus mengetahuinya. “Saya siap, Pakde. Ceritakan semuanya,” pintanya mantap.

Pakde Prayit mengangguk pelan. Dia memandang jauh ke horizon, seolah menerawang ke masa lalu yang jauh. Perlahan, dia mulai mengisahkan sebuah cerita yang selama ini tersimpan rapi, tentang cinta, pengkhianatan, dan luka yang tak pernah terobati.

One thought on “Surat Dumirah (1)

Leave a comment