Bukan. Saya bikin Novel, kok

Photo by Donald Tong on Pexels.com

Ternyata dikira jadi penulis naskah pilem. Saat mendapat feedback dari empire, ternyata tulisan di hari ke-6 kemaren dikira bentuk tulisan yang diperuntukkan untuk film.

.

Meskipun saya ingin sekali bisa begitu tapi harus diakui ini bukan sedang bikin naskah film, tapi kalo beneran bisa jadi ya sebuah novel. Kenapa terjadi kesalahpahaman itu, kemungkinan besar karena saya mengistilahkan adegan dengan scene. Ya memang kalo pake istilah adegan juga pasti akan kesasar kesana pemikirannya.

Saya mengikuti cara berpikirnya Novelcrafter. Dalam sebuah buku terdiri dari banyak chapters (bab), dalam chapter ada scenes (adegan), dalam tiap scenes ada beat. Minimal satu beat. Memang begitu caranya di aplikasi itu ya saya ikutin aja.

Chapters adalah bab sudah biasa kita melihatnya di novel-novel Indonesia, tapi konsep scene saya memahaminya baru saja. Agak lebih mudah memang menurut saya seperti itu. Dalam satu bab, misalnya ada hanya satu scene, maka sebagaimana di dalam film, pengambilannya hanya ada di satu lokasi. Pada saat berpindah tempat maka adegan di tempat ini sudah kelar, kita mulai dengan setting di tempat lain.

Pada novelcrafter ini juga begitu. Pada saat kita menuliskan adegan, setiap tokoh, tempat dll tiba-tiba akan berubah warna sesuai dengan yang kita tuliskan. Sehingga memudahkan untuk melihat sedang ada dimana, siapa saja dalam scene tersebut.

Hal ini tentu saja, agar setting (kebanyakan ini tentang lokasi) konsisten. Misalnya dalam rencana novel ini ada Puskesmas Wanasari, tapi juga ada setting Ruang Pemeriksaan Umum, UGD dan lainnya. Dalam novelcrafter app itu disebut sebagai codex. Karakter, lokasi/tempat, benda/item, legenda atau sistem dan lainnya merupakan codex entry. Yang akan digunakan dalam penulisan.

Memang dilihat-lihat ini lebih menyenangkan daripada Sudowriter. Saya menyenangi codexnya yang lebih jelas dibandingkan Sudowriter.

[notokuworo.]

Leave a comment